Bila Korsel Undur Diri, Jepang Harakiri, Kita Ketawa-Ketiwi
Oleh: Alfi Rahmadi*
Di negara yang tingkat disiplin hukumnya tinggi seperti Jepang dan Korea Selatan (Korsel), memang tidak sepenuhnya ditopang oleh kinerja yang baik aparat penegak hukumnya, tetapi juga berkat kesadaran hukum masyarakatnya. Dan ingat: kesadaran hukum masyarakat juga cermin dari kesadaran hukum pemimpinnya. Ada banyak contoh yang dapat dirunut budaya hukum pemimpin di dua negara tersebut.
Awal 2017, saat Korsel mengalami krisis politik akibat skandal Presiden Park Guen-hye, para staf dan pejabat senior Kepresidenan ramai-ramai mengundurkan diri. Aksi ini juga atas permintaan Presiden Park Guen-hye. Ia tidak ingin skandal yang membelitnya melibatkan mereka.
Pada akhirnya parlemen memakzulan Park Guen-hye. Putusan tersebut diperkuat majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Maret 2017. Park Guen-hye adalah presiden perempuan pertama sekaligus presiden pertama yang dipecat di Korsel. Kasusnya “hanya” dipicu oleh intervensi Choi Soon-sil, sahabat lama sang presiden, dalam banyak kebijakan.
Dua tahun sebelumnya (2014), Perdana Menteri (PM) Korsel Chung Hong-won juga mengundurkan diri, merespon kritik publik dan parlemen. Mereka menganggap Hong-won gagal menangani musibah karamnya kapal feri, April 2014. Peristiwa ini menewaskan 180 orang dan 110 orang lainnya hilang.
Contoh lain, malu karena peristiwa mati lampu di Soul, September 2011, Menteri Ekonomi Korsel, Choi Joong-Kyung, mengundurkan diri. Di Indonesia, kasus-kasus di atas mungkin dianggap sepele. Tapi tidak di negeri gingseng. Sekelas kasus putusnya aliran listrik di ibukota bukan peristiwa biasa bagi publik di semenanjung Selatan Korea.
Di Jepang lebih sangar lagi. Malu “hanya” karena tergelincir lidah, Menteri Rekonstruksi, Ryu Matsumoto, mengundurkan diri, Juli 2011. Publik di Jepang menilai sang menteri tidak sensitif terhadap perasaan korban tsunami dan tragedi nuklir Fukushima 2011.
Sebulan pasca mengunduran diri tersebut, tak tanggung-tanggung PM Naoto Kan ikut jejak Matsumoto. Padahal dia belum genap setahun setengah berkuasa. Dia dianggap tak becus menangani musibah tersebut dan parlemen sempat mengeluarkan mosi tak percaya.
Bukan kali ini saja kisah nyata PM Jepang mengundurkan diri. Pendahulunya, PM Yukio Hatoyama, Juni 2010, menempuh langkah serupa. Tak peduli baru 10 bulan menjabat. Anggota parlemen marah karena dia dianggap gagal menunaikan janji memindahkan pangkalan militer di Okinawa saat kampanye.
Tekanan pengunduran diri itu justru dari partainya sendiri: Partai Demokratik. Tak peduli di masa pemilihan, Hatoyama menjadi media darling dan dianggap sebagai “cahaya baru” negeri matahari terbit itu. Tak kuat menanggung rasa malu, tokoh paling berpengaruh partai ini, Ichiro Ozawa—sudah seperti “Megawati-nya” di PDI Perjuangan—ikut undur diri. Masih kurang contoh?
Menteri Urusan Layanan Keuangan Tadahiro Matsushita, memilih “harakiri” atau bunuh diri daripada menanggung rasa malu karena perselingkuhannya dengan perempuan lain terendus oleh media massa. Politisi kawakan Jepang itu gantung diri di rumahnya di Tokyo, September 2012, dalam usia 73 tahun.
Bertepatan hari pelantikan Jokowi-JK, 20 Oktober 2014, dua menteri Jepang mengundurkan diri berbarengan. Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Yuko Obuchi serta Menteri Kehakiman Midori Matsushima. Keduanya dari Partai Demokratik Liberal, partai pengusung PM Shinzo Abe, yang saat itu baru terpilih untuk kedua kalinya atau jilid II.
Yuko Obuchi mengundurkan diri dibelit kasus dugaan penyalahgunaan dana dua partai politik afilialnya 2009-2011. Pihak Obuchi pada 2012 tidak mencatat penggunaannya. Di tengah proses audit, Obuchi sendiri turun tangan dan mengakui memang ada potensi penyalahgunaan.
Saat meminta maaf di hadapan parlemen, perempuan kelahiran Tokyo, 11 December 1973 itu jantan menyatakan, “Saya merasa ketidaktahuan saya ini tidak bisa menjadi alasan.”
Padahal, Yuko Obuchi adalah putri PM Keizo Obuchi 1998-2000. Bahkan ia dianggap satu di antara lima menteri “bintang-nya” Kabinet jilid II Shinzo Abe. Kalau kita di Indonesia popularitas dan akseptabilitasnya mungkin menyerupai Menteri Susi Pudjiastuti.
Dalam Kabinet jilid II Shinzo Abe, dia perempuan pertama memimpin Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Perindustrian. Sebelumnya menjabat Menteri Sosial dan Kesetaraan Gender di masa PM Taro Aso 2008-2009. Kala itu Obuchi tercatat sebagai menteri termuda di Jepang.
Satu bulan lebih menjabat sebagai menteri periode kedua rezim Shinzo Abe, prestasi Obuchi terbilang gemilang. Kepercayaan publik terhadap pemerintah Jepang semakin kuat ketika Yuko Obuchi memikul tugas berat: mengaktifkan kembali reaktor nuklir sejak kiris nuklir Fukushima 2011. Publikpun memproyeksikan Obuchi bakal menjadi PM perempuan pertama di Jepang.
Kalau kita di Indonesia, publik cenderung akan mengatakan, “Sayang sekali pengunduran diri itu, padahal baru dugaan”. Tapi di Jepang tak ada cerita. Obuchi sendiri menyampaikan sebagai bentuk tanggung jawabnya atas kehebohan dugaan skandal dana kampanye tersebut.
Beberapa jam setelah Yuko Obuchi mengundurkan diri, giliran Midori Matsushima. Menteri Kehakiman rezim Shinzo Abe ini digugat secara pidana oleh Partai Demokratik dengan tuduhan melanggar hukum elektoral (UU Pemilu). Apa tuduhannya? “Hanya” membagi kipas kertas untuk pemilih! Bayangkan itu. Bagaimana pula respon Shinzo Abe?
Secara ksatria, ia mengatakan, “Sebagai Perdana Menteri, saya minta maaf dan bertanggung jawab atas masalah ini.” Sebuah sikap jantan, meskipun rezim Shinzo Abe tak sebersih yang dibayang. Periode pertama dia menjabat, 2006-2007, Kabinet-nya dibelit kasus korupsi. Sampai-sampai empat menteri mengundurkan diri dan satu menteri memilih harakiri.
Kisah nyata Korea dan Jepang menjadi etalase nyata betapa tingginya peradaban integritas di sana. Begitu mengakar pendidikan politik membentuk mental sekuat itu. Mereka mengundurkan diri dan harakiri tanpa menunggu persidangan, apalagi sampai inkrah. Frase “hanya” tak berlaku. Atau frase “cuma” tak dipakai ketika bicara etika hukum. Besar-kecilnya tetap sama, meskipun baru dugaan yang mesti dibuktikan di meja hijau.
Di kita: kalau perlu bertempur sampai level peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung. Sekaliber kejahatan KKN (korupsi, kolusi nepotisme) yang merupakan patologi oligarki sekaligus biang keterpurukan negeri, para pejabatnya masih ketawa-ketiwi di media massa. Beberapa di antaranya masih leluasa menghadiri acara seremoni sepanjang belum di tahan.
Asaz praduga tak bersalah yang kerap didegung bak “teks suci” di Indonesia seolah tak berlaku di Jepang dan Korsel bila kasusnya melibatkan aktor organ negara. Sikap ini kompatibel dengan konsep organ negara ala Hans Kelsen. Penggagas pure theory of law ini memandang individu pelaksana organ negara memiliki kedudukan hukum memfungsikan jabatannya dalam menerapkan kebijakan publik.
Karenanya Kelsen menilai, cacatnya kebijakan publik sebagai cacatnya kepribadian individu aktor organ negara. Hal tersebut menyirat makna: tradisi elit mengundurkan diri dan harakiri di dua negeri itu merupakan bentuk pertanggung jawaban individual yang melekat dalam jabatan institusional-nya.
Budaya politik dan hukum di Indonesia—meminjam konsep persinggungan budaya dan kepribadian elit rumusan Ruth Fulton Benedict—nyaris tidak punya rasa bersalah sebagaimana budaya hukum di Barat. Elit di Indonesia juga nyaris tak punya rasa malu lagi sebagaimana budaya hukum di Timur Pasifik seperti Jepang dan Korea.
Padahal, antropolog asal Amerika itu membuktikan: karena kuatnya budaya bersalah dan malu itulah yang memayungi kasadaran konstitusional para elit dan sangat berdampak terhadap budaya hukum masyarakat setempat.
Di Indonesia, perlu sekali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengembangkan dua budaya tersebut menjadi model mendasar pencegahan sistemik kasus KKN. Terlebih di tahun politik Pilkada serentak 2018 yang merupakan “bab pertama” terjadinya korupsi sistemik organ negara.
Contoh: kandidat yang tercium membayar mahar politik atau menerima biaya politik melebihi dari yang ditetapkan KPU, didorong mengundurkan dari pencalonan. Setidaknya, tak usah malu meminta maaf. Sikap ini contoh minimalis dari ekstrim-nya harakiri sebagaimana di Jepang.
Pencegahan korupsi melalui pendekatan kebudayaan sebangun dengan revitalisasi kearifan lokal Indonesia yang kini telah tercerabut akibat praktik demokrasi liberal di Indonesia dan sudah masuk di level brutal. Tidak malu dan bersalah lagi bagi-bagi duit dan sembako, baik si pemberi maupun penerima, karena sudah dikemas dengan mental hipokrit berpenampilan dermawan.
Pesan dari sikap para Ksatria: betapa keteladanan itu mesti nyata. Sebab problem negeri selalu dikunci oleh persoalan kepemimpinan. Budaya hukum masyarakat berbasis dari situ.
Ada banyak tapak yang dapat menjadi teladan nyata dari para tokoh pendiri RI. Antara lain Bung Hatta. Kelak namanya diabadikan sebagai lebel penganugerahan tokoh anti-korupsi untuk para generasi. “Bung Hatta Anti-Corruption Award”.
Tanpa keteladanan nyata tersebut, kita selalu terperosok di lubang yang sama. Banyak para pemimpin teriak bahayanya korupsi. Tapi menikmati nepotisme dan kolusi yang dibangun.
Ketika para pemimpin mengalami keterpecahan personal, bagaimana mungkin terbangun kesadaran hukum masyarat secara massal. Itulah etalase pembaharuan hukum di tanah air pasca 1998: selalu bilang “siap”! tetapi sambil “jalan di tempat…grak”! Berkutat di situ-situ saja. [] *Wakil Sekretaris Jenderal #GNKRIPusat
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!