Gotong Royong

Mau memperjelas saja. Sekali lagi soal Gotong dan Royong

Misal,

Aku
Kamu
Mr. X

Sepakat bertiga menyelesaikan proyek atau pekerjaan denga modal, energi, dan pikiran yang fair atau sama. Ini namanya GOTONG.

Lalu, kita memperoleh hasil yang dibagi secara fair atau sama sesuai keringatnya dan kalau dapat award semua nama disebutkan. Ini namanya ROYONG.

Tapi,

Kalau dari tiga tadi hanya satu yang kerja, dua lainnya juga ingin nikmati hasil dan dapat nama, ini sebutannya TIDAK GOTONG, maunya royong saja.

Begitu juga sebaliknya, kerja dan peras keringatnya bertiga, tapi yang dapat hasil dan penghargaan hanya satu atau tidak adil antara ketiganya, maka ini yang disebut hanya Gotong tapi TIDAK ROYONG.

Gotong, YES. Royong, YES.

#GotongDANroyonG
#RoyongDANgotonG
#GotongRoyong
#RoyongGotong

DARURAT VENTILATOR

Dalam 2 pekan terakhir, Masjid Salman ITB bersama ITB dan FK Unpad memang tengah mengembangkan ventilator COVID-19 yang diberi nama Vent-I untuk penanganan pasien COVID-19. Alhamdulillāh, pengembangan ventilator darurat tersebut mengalami kemajuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ventilator merupakan alat bantu pernapasan yang sangat dibutuhkan oleh pasien COVID-19. Ketika paru-paru dan saluran pernapasan terinfeksi COVID-19, pasien akan mengalami kesulitan bernapas yang dapat berujung pada kematian. Alat ini akan membantu mereka dalam situasi kritis sambil menunggu perawatan lebih lanjut dari tenaga medis.

Ventilator yang dikembangkan adalah Ventilator non-Invasive, khususnya untuk memenuhi kebutuhan CPAP (Continuous Positive Airway Pressure). Ventilator ini sangat dibutuhkan oleh pasien terinfeksi COVID-19 yang mengalami kesulitan bernapas tetapi masih belum masuk ICU. Ventilator ini sangat membantu meminimalisasi kemungkinan pasien untuk dirawat di ICU. Ventilator jenis ini terbukti sangat membantu tenaga medis ketika menangani pasien terinfeksi COVID-19 di Wuhan, Tiongkok.

Vent-I yang dikembangkan akan diproduksi dan dibagikan kepada rumah sakit-rumah sakit penangan pasien COVID-19. Pada tahap awal, insya Allah kami akan memproduksi 100 unit Vent-I. Kami mengajak Bapak/Ibu bergotong royong dalam penyediaan Vent-I untuk penanganan pasien COVID-19.

Paket Donasi I Rp berapapun nominalnya
Paket Donasi II Rp 1.000.000,00
Paket Donasi III Rp 5.000.000,00
Paket Donasi IV Rp 10.000.000,00 atau lebih

Donasi dapat disalurkan melalui:
BNI Syariah
633-633-6367
a.n. Rumah Amal Salman

Konfirmasi donasi:
wa.me/628112228333

Semoga Allah menjaga Bapak/Ibu sekeluarga.

#salmantidakberhentimelayani
#salingjagahadapicorona


Rumah Amal Salman
Lembaga pengelola zakat, infak, dan kebaikan lainnya untuk membentuk leading figure masa depan
🏅 Akreditasi: A
🏅 Opini audit syariah: Sesuai Syariah
🏅 Opini audit keuangan: Wajar Tanpa Pengecualian
🏅 Pengurang penghasilan kena pajak

Jalan Gelap Nyawang nomor 4, Bandung
+62 811-2228-333
https://www.instagram.com/rumahamalsalman/

Mewujudkan Keadilan Sosial

(Bagian Kedua)

Oleh: Wahdat Kurdi/GNKRI

 

Bagian pertama tulisan ini menyajikan Potret Kebahagiaan orang Indonesia. Indeks Kebahagiaan, sebagaimana saat ini telah umum digunakan oleh banyak negara di dunia, merupakan salah satu penanda keadilan sosial. Jika rakyat semakin bahagia, berarti mereka semakin dekat dengan keadilan sosial.  Dalam tulisan bagian kedua akan diuraikan penanda lain terwujudnya keadilan sosial: kemakmuran.

Indikator yang paling umum digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu negara adalah pendapatan perkapita, yang diperoleh dengan membagi PDB (Produk Domestik Bruto) dengan jumlah penduduk. Semakin besar pendapatan perkapita mengindikasikan bahwa wilayah tersebut semakin makmur. Sebaliknya, semakin kecil pendapatan perkapita mengindikasikan bahwa wilayah tersebut kurang makmur.

Pada tahun 2018, pendapatan perkapita Indonesia mencapai Rp 56 juta. Artinya, rata-rata penduduk  Indonesia  punya pendapatan Rp 4,7 juta per bulan. Jumlah yang lumayan besar.  Pendapatan perkapita ini membawa Indonesia masuk ke golongan negara berpendapatan menengah. Dengan pendapatan perkapita sebesar ini, sepintas lalu rakyat Indonesia sudah cukup makmur. Apalagi jika dilihat bahwa pendapatan perkapita selalu naik sejak tahun 1999, dengan peningkatan rata-rata sekitar 8 persen per tahun.

Di kalangan negara ASEAN, pendapatan perkapita Indonesia berada di posisi kelima setelah Singapura, Brunei,  Thailand, dan Malaysia. Di kalangan negara G-20, pendapatan perkapita Indonesia berada di posisi ke-19. Dalam Visi Indonesia 2045, pendapatan perkapita Indonesia ditargetkan sebesar US$ 25 ribu atau 600 persen lebih tinggi dibandingkan angka saat ini. Pada tahun itu kemiskinan diharapkan dapat mendekati nol dan Indonesia menjadi negara ekonomi kelima terbesar dunia.

Apakah pendapatan perkapita itu menunjukkan seluruh rakyat Indonesia sudah makmur? Jawabnya tidak. Kemakmuran belum terdistribusi secara adil di kalangan rakyat. Konsentrasi kemakmuran masih terpusat di daerah tertentu serta pada kelompok masyarakat tertentu saja.

Pertumbuhan ekonomi  masih didominasi oleh provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa, dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 58%. Sedangkan kontribusi Pulau Sumatera hanya 21%, Kalimantan 8%, Sulawesi 6%, dan sisanya dari pulau-pulau lainnya. Meski PDB selalu naik, namun dipastikan bahwa kenaikannya terpusat dan dinikmati penduduk di Pulau Jawa.

Perekonomian juga masih terpusat di segelintir orang. Pada tahun 2018, Forbes merilis kekayaan total 10 orang terkaya Indonesia yang berjumlah Rp 1.111 triliun. Angka itu setara dengan 45 persen anggaran belanja negara tahun  2019, atau setara dengan pendapatan perkapita 19,6 juta orang Indonesia.

Bayangkan kesenjangan luar biasa ini, harta 10 orang setara dengan rata-rata pendapatan setahun 19,6 juta orang!  Pada tahun sebelumnya, pemerintah merilis deklarasi harta Rp 4.600 triliun dari hampir satu juta orang warga Indonesia. Artinya, kurang dari 0,5 persen penduduk Indonesia memiliki harta setara rata-rata pendapatan setahun 82 juta orang!

Jadi, meskipun secara rata-rata pendapatan perkapita Indonesia cukup besar, namun sesungguhnya pendapatan itu tidak terbagi secara adil di tengah masyarakat. Di saat satu kelompok memiliki pendapatan luar biasa besar, kelompok lainnya justeru harus bertahan hidup dengan pendapatan pas-pasan bahkan kurang.

Kesenjangan yang amat besar ini terekam melalui angka Gini Ratio. Sejak tahun 1999, Gini ratio Indonesia cenderung naik. Antara tahun 1976 – 1999,  rata-rata Gini Ratio Indonesia 0,332. Kurun waktu 1999 – 2018, rata-rata Gini Ratio 0,387. Jadi di masa pasca-reformasi,  Indonesia justeru semakin jauh dari keadilan sosial.

Bahkan BJ Habibie pernah mengungkapkan hasil riset tentang distribusi nilai tambah ekonomi di Indonesia pasca-reformasi. Proporsinya sungguh mencengangkan, 1:3: 170. Maksudnya, pada setiap “kue ekonomi” yang dihasilkan, masyarakat terbawah mendapat 1 bagian, golongan menengah 3 bagian, dan pemilik kapital 170 bagian.

Pemerintah berusaha menurunkan Gini Ratio dengan berbagai program. Pada RAPBN 2019, misalnya, pemerintah hanya berani menurunkan Gini Ratio 0,004 atau 0,4 persen dari tahun sebelumnya. Jika sikap ini dipertahankan, dan andai target itu memang bisa dicapai secara konsisten, maka butuh waktu 20 tahun untuk mencapai Gini Ratio seperti yang dimiliki Inggris.

Sekali lagi, meskipun pendapatan perkapita Indonesia meningkat pesat, namun itu tidak menunjukkan kemakmuran sudah tersebar di kalangan rakyat. Data BPS pada September 2018 menunjukkan penduduk miskin di Indonesia masih cukup tinggi, berjumlah sekitar 25,6 juta orang.

Meskipun secara persentase turun dibandingkan tahun sebelumnya, namun angka ini tetap saja jumlah yang amat besar. Masih lebih besar dibandingkan total penduduk Australia. Sementara jumlah orang menganggur juga tetap tinggi, sekitar 7 juta orang pada tahun 2018. Jumlah ini lebih besar dari total penduduk Singapura.

Lebih tujuh dasawarsa merdeka, bangsa Indonesia masih kesulitan mewujudkan keadilan sosial. Penyebabnya bukan karena tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk mencapainya. Berbagai rejim pemerintahan berganti, setiap rejim selalu berupaya keras dan penuh perhatian bagaimana keadilan sosial bisa dinikmati seluruh rakyat.

Namun ibarat penyakit, obat yang diresepkan selalu keliru. Sebab sang dokter selalu gagal mendiagnosa akar penyakit sehingga pengobatannya hanya untuk mengatasi simptomnya. Bukan kankernya yang disembuhkan, tapi nyeri di sekujur tubuh yang menjadi perhatian. Maka kesembuhan tak kunjung diperoleh, simtom hanya sesaat hilang dan kemudian muncul kembali dalam derajat yang lebih dahsyat.

Sejak dulu selalu menjadi tantangan bagaimana ekonomi tetap tumbuh namun hasil pertumbuhannya tidak terkonsentrasi pada segelintir orang saja. Bagaimana kemajuan ekonomi dapat diraih dan sekaligus “kue ekonomi” dapat tersebar secara merata di kalangan masyarakat. Kemudian  kapitalisme diresepkan sebagai obat mujarab untuk mewujudkan keadilan sosial.

Menurut  para pendukung kapitalisme, perusahaan kapitalis berhasil membuka banyak lapangan kerja, dan dengan begitu menciptakan kemakmuran. Semakin kapitalistik suatu negara, maka lapangan kerja semakin banyak tersedia.

Sebaliknya, tempat-tempat miskin selalu dicirikan oleh tidak adanya perusahaan kapitalis. Paling-paling di sana hanya ada petani kecil atau pemilik toko kecil. Di daerah miskin di mana tidak ada perusahaan kapitalis, tidak ada lapangan kerja sehingga tidak ada upah, tidak ada hubungan kerja, tidak ada pensiun, tidak ada asuransi. Tidak ada kemakmuran. Benarkah demikian?

Mewujudkan Keadilan Sosial

(Bagian Pertama)

Oleh: Wahdat Kurdi/GNKRI

 

 

 

“Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum Kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal keadilan sosial ini, yaitu bukan saja persamaan  politik,  saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan  ekonomi  kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.’’ ”(Ir. Soekarno)

 

Istilah keadilan sering identik dengan keadilan hukum. Maka ada yang keliru menafsirkan keadilan sosial  sebagai keadilan hukum untuk semua orang. Ada pula yang menganggap kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), baik di bidang kesehatan maupun ketenagakerjaan, sebagai bukti bahwa keadilan sosial telah terwujud di Indonesia.

Anggapan ini mungkin timbul akibat adanya kata “sosial” pada BPJS. Atau karena BPJS dianggap berurusan dengan hal yang “bersifat sosial”, seperti jaminan layanan kesehatan, jaminan untuk mendapat uang pensiun dan pelayanan lainnya.

Istilah “sosial” juga sering diartikan charity atau derma.  Yayasan sosial, misalnya, kegiatannya identik dengan membantu kalangan tidak mampu. Ada pula Kementerian Sosial yang tugas utamanya membuat program bantuan untuk orang miskin. Apakah yang dilakukan BPJS, yayasan sosial dan Kementerian Sosial itu yang dimaksud dengan mewujudkan keadilan sosial?

“Keadilan sosial,” kata Bung Karno, “ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada exploitation de’l homme par l’homme.”  Jadi, ada tiga kata kunci yang disebut Bung Karno ketika menjelaskan maksud keadilan sosial: adil, makmur dan bahagia.

Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak berat sebelah. Sedangkan makmur berarti serba berkecukupan. Masih menurut kamus tersebut, kemakmuran adalah keadaan kehidupan negara di mana rakyatnya mendapat kebahagiaan jasmani dan rohani akibat terpenuhi kebutuhannya.

Jadi keadilan sosial itu sama dengan hidup yang berkecukupan bagi seluruh rakyat, yang untuk memenuhinya itu mereka tidak harus menindas atau ditindas, menghisap atau dihisap, menghina atau dihina. Keadilan sosial adalah seluruh rakyat bahagia batinnya karena hidup berkecukupan, yang untuk mendapat hidup berkecukupan itu mereka tidak perlu menyakiti perasaannya sendiri maupun orang lain.

Jika jika makna keadilan sosial itu persis seperti yang disampaikan Bung Karno, apakah ia saat ini sudah terwujud di bumi nusantara?

Potret Kebahagiaan

Dulu ukuran kesuksesan suatu negara sering dilihat dari sisi ekonomi semata, seperti pertumbuhan ekonomi, Produk Nasional Bruto, pendapatan perkapita dan seterusnya. Selain tidak akurat untuk menggambarkan problem ekonomi yang invisible tapi punya daya rusak tinggi, indikator-indikator ekonomi itu juga sering mengalihkan pemerintah dari persoalan lain yang tak kalah pentingnya: kebahagiaan masyarakat.

Pada Juli tahun 2011, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi 65/309 yang berjudul “Kebahagiaan: Menuju Definisi Pembangunan yang Holistik”. Melalui resolusi itu, PBB menyerukan negara-negara anggota untuk mengukur kebahagiaan rakyat mereka.

Satu tahun kemudian, diselenggarakan Pertemuan Tingkat Tinggi PBB yang mengambil tema “Kesejahteraan dan Kebahagiaan: Mendefinisikan Paradigma Ekonomi Baru”.  Pertemuan itu langsung diketuai Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Perdana Menteri Jigme Thinley dari Bhutan.

Mengapa Bhutan? Karena negara itu hendak ditunjukkan kepada dunia sebagai model yang tidak ikut-ikutan mainstream. Bhutan berani mengganti indikator pembangunan utama mereka, dari sebelumnya Produk Nasional Bruto menjadi Kebahagiaan Nasional Bruto.

Sebagai hasil dari pertemuan tersebut dirilis Laporan Kebahagiaan Dunia yang isinya menguraikan keadaan kebahagiaan negara-negara di dunia, penyebab kebahagiaan dan kesengsaraan, dan berbagai studi kasus mengenai implikasi suatu kebijakan terhadap kebahagiaan. Hingga saat ini, Laporan Kebahagiaan Dunia diterbitkan secara rutin  hampir setiap tahun.

Indonesia, melalui BPS, mulai mengukur kebahagiaan rakyatnya sejak tahun 2014. Indeks Kebahagiaan mengukur  tingkat kepuasan masyarakat terhadap sepuluh aspek kehidupan yang dianggap esensial yaitu  kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, kondisi rumah dan aset, keadaan lingkungan, dan  kondisi keamanan.

Indeks menggunakan skala 0-100. Semakin tinggi nilai indeks (semakin dekat dengan 100) menunjukkan tingkat kehidupan yang semakin bahagia, demikian pula sebaliknya, semakin rendah nilai indeks (semakin jauh dari 100) maka penduduk semakin tidak bahagia.

Pada tahun 2014, Indeks Kebahagiaan Indonesia adalah 68,28. Jika poin tengah (50) dianggap sebagai keadaan netral, tidak sengsara tapi juga tidak bahagia, maka angka 68,28 itu bisa ditafsirkan “agak bahagia”.

Tiga tahun kemudian, yakni tahun 2017, BPS kembali mengukur Indeks Kebahagiaan, namun dengan metode yang berbeda dibanding tahun 2014. Pada tahun itu Indeks Kebahagiaan tidak hanya mengukur dimensi “kepuasan hidup” seperti metode tahun 2014, namun juga ditambah dengan dimensi “perasaan” dan “makna hidup”. Dengan metode yang baru itu, diperoleh Indeks Kebahagiaan orang Indonesia sebesar 70,69.

Bagaimana kebahagiaan rakyat Indonesia dibandingkan rakyat negara lain? Lembaga survey Gallup sejak tahun 2005 telah merilis Indeks Kebahagiaan setiap negara, termasuk Indonesia. Meski berbeda dengan metode BPS, metode yang digunakan Gallup serta hasilnya mendapat penerimaan yang luas dari dunia internasional.  Gallup menggunakan skala 1-10 di mana semakin besar indeksnya semakin bahagia.

Menurut Gallup, Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2016-2018 adalah 5,192. Indonesia berada di rangking ke-92 di antara 152 negara yang disurvey Gallup. Di Asia Tenggara, orang Indonesia kalah bahagia dibandingkan rakyat Singapura, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Indonesia berselisih 2,6 dengan negara paling bahagia di dunia: Finlandia.

Tantangan Ekonomi Rakyat

Oleh Marbawi A. Katon/Ketua Umum GNKRI

 

 

Keberhasilan memajukan perekonomian rakyat telah ditunjukkan oleh koperasi-koperasi di banyak negara. Retail terbesar di Singapura, NTUC Fairprice adalah koperasi konsumen. Delapan puluh persen listrik di wilayah pedesaan di AS disediakan koperasi. Sekitar 90 juta dari 235 juta warga AS menjadi anggota koperasi, dengan nilai bisnis total lebih dari 73 milyar dollar AS. Koperasi bahkan menyelamatkan perekonomian rakyat AS sewaktu terjadi resesi dunia tahun 1930 dan memperkuat ekonomi pasca-Perang Dunia II. Di wilayah pedesaan di negara tersebut, koperasi-koperasi pertanian membantu para petani bertahan dari depresi ekonomi. Sementara di kota-kota, koperasi membantu membangun kembali perumahan rakyat yang hancur semasa perang.

Demikian pula di Kanada, 40 persen warganya adalah anggota koperasi, dengan nilai bisnis lebih dari 45 milyar dollar AS. Dari Kanada pulalah lahir Credit Union, koperasi kredit terbesar di dunia saat ini. Tiga perempat produk susu yang dikonsumsi dunia berasal dari koperasi peternak sapi perah di Australia dan Selandia Baru. Di Jepang dan  negara-negara Skandinavia, tidak ada usaha di sektor pertanian yang tidak dikelola koperasi.

Anak-anak di daerah pedesaan Kolombia belajar mengenal komputer di sekolah yang didirikan koperasi-koperasi. Keluarga-keluarga di Swedia tinggal di rumah-rumah nyaman yang dibangun oleh koperasi perumahan. Di Jerman, masyarakat biasa membeli barang kebutuhan sehari-hari di toko-toko milik koperasi.  Di Inggris, Co-operative Insurance Service menjadi salah satu perusahaan asuransi terbesar di sana.  Di Belanda, masyarakat menabung di bank-bank milik koperasi. Rabo Bank milik koperasi petani bahkan sanggup mendirikan cabang-cabangnya di banyak negara.

Di Indonesia, koperasi identik dengan ketidakberdayaan. Ada memang koperasi yang tetap bertahan, tapi kecil sekali persentasenya dibanding yang mati suri. Koperasi peternak sapi perah, misalnya, adalah segelintir koperasi yang mampu survive. Sebagian besar koperasi yang masih beroperasi saat ini adalah koperasi simpan pinjam.

Jaman Orde Lama, koperasi dijadikan alat politik pemerintah untuk menyukseskan Nasakomisasi. Di masa Orde Baru, pemerintah menggunakan koperasi sebagai ’alat pembangunan’. Di mana-mana koperasi didirikan, tapi secara top-down. Bertentangan betul dengan karakter asli koperasi yang berwatak otonom. Manfaat koperasi disebut-sebut hanya dinikmati pengurusnya saja. Maka muncul istilah-istilah untuk meledek koperasi. Ada KUD atau Ketua Untung Duluan. Ada ”koperasi merpati”, yang diibaratkan seperti merpati yang akan mendekat jika di tangan kita ada jagung makanan kesukaannya. Ini sindiran untuk koperasi yang ’aktif’ kembali ketika ada proyek pemerintah yang berkaitan dengan koperasi. Ada pula ”koperasi pedati”. Ibarat pedati, koperasi itu hanya akan berjalan jika ada kuda yang menarik-nariknya.

Menteri-menteri ekonomi jaman Pak Harto terkenal kompak nyinyir kepada koperasi. Salah seorang menteri sampai menyebut koperasi ”cursed to be small.” Maka, cocoklah jika Departemen Koperasi diubah menjadi Departemen/Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Padahal koperasi itu badan usaha, sedangkan UKM adalah skala usaha. Tapi karena sudah ’dikutuk’ tidak pernah bisa menjadi besar, maka tidak mengapa koperasi selalu disandingkan dengan istilah UKM.

Akhir-akhir ini, jika mendengar koperasi disebut, masyarakat banyak mengaitkannya dengan praktik bank gelap dan rentenir. Menurut berita, banyak bank gelap dan rentenir itu menggunakan badan hukum koperasi dalam operasinya.

Nurdin Halid, Ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang merupakan organisasi payung seluruh koperasi di Indonesia, adalah bekas terpidana kasus korupsi minyak goreng yang merugikan negara Rp 160 miliar. Ia melakukan korupsi dalam kedudukannya sebagai Ketua Umum Koperasi Distribusi Indonesia. Bulan Oktober 2019 Nurdin terpilih menjadi Ketua Dekopin untuk keempat kalinya.

Dikutip dari website resmi Dekopin, Nurdin Halid menyatakan Dekopin konsisten memperjuangkan aspirasi gerakan koperasi melalui tiga kegiatan utama, yaitu advokasi, fasilitasi, dan edukasi. Bahkan tahun 2045, Nurdin memimpikan koperasi bisa menjadi Pilar Negara.

Masih Oktober 2019, pemerintah berencana membubarkan 40 ribu lebih koperasi. Menteri Koperasi Teten Masduki menyebut koperasi sudah jadul bukan main. Maka, katanya, generasi milenial harus mengubah koperasi ke arah digitalisasi.

Teknologi digital kenyataannya memang bisa menjadi alat koperasi mewujudkan jati dirinya, sebagai lembaga yang bertujuan memenuhi kebutuhan ekonomi bersama. Semua tukang ojek, misalnya, punya kebutuhan ekonomi yang sama, yaitu bagaimana mendapat semakin banyak penumpang sehingga pendapatan mereka pun meningkat. Teknologi digital terbukti hadir menjawab harapan tukang ojek itu. Namun melalui seorang pemuda bernama Nadiem Makarim, bukan melalui Dekopin.

Dalam suatu forum pelatihan kepemimpinan untuk mahasiswa baru-baru ini, penulis bertanya kepada  peserta apakah mereka pernah mendengar istilah koperasi. Beberapa di antara mereka menjawab pernah mendengar. Penulis kemudian bertanya lagi apa yang mereka tahu tentang koperasi. Semuanya hening dan tidak ada yang mampu menjawab. ”Saya tidak jemu-jemunya mengingatkan,” terlintas ucapan Bung Hatta di tengah keheningan itu, ”bahwa koperasi adalah satu-satunya bangun ekonomi yang sesuai betul dengan semangat UUD kita”. Sayup-sayup ucapan Bung Hatta itu memudar. Digantikan wajah bingung para mahasiswa mendengar penjelasan penulis betapa pentingnya mereka mau berkoperasi. (Artikel disalin dari Media Indonesia, Kamis 5 Desember 2019)