Darurat Nasional Kesenjangan Ekonomi
/0 Comments/in Article /by adminOleh: Wahdat Kurdi/GNKRI
“Awalnya hanya sekedar kecemburuan di dalam kelas,” ujar seorang tokoh aktivis mahasiswa ITB kurun 60-an kepada penulis, membuka kisah terjadinya kerusuhan pada tahun 1963. “Waktu itu mahasiswa keturunan Tionghoa selalu mendapat tempat duduk di barisan paling depan. Ini menimbulkan rasa iri di kalangan mahasiswa pribumi, sebab ada anggapan prestasi akademis akan semakin bagus jika kita duduk di tempat paling depan. Para mahasiswa sebetulnya sudah berusaha duduk di bagian depan itu, namun selalu gagal karena selalu kalah cepat. Para mahasiswa keturunanTionghoa bisa lebih dulu sampai di kelas karena mereka rata-rata punya sepeda motor.”
Akhirnya sang tokoh mahasiswa bersama beberapa aktivis mahasiswa lain bersepakat memberi ‘pelajaran’ kepada para mahasiswa keturunan Tionghoa. Pada hari yang ditentukan, seorang mahasiswa pribumi mendekati mahasiswa keturunan Tionghoa, dan setelah sangat dekat, ia tiba-tiba terjatuh. Tentu saja terjatuh yang dibuat-buat. Mahasiswa lain, yang juga sesuai setting-an, serempak berteriak-teriak ada mahasiswa pribumi dipukuli mahasiswa keturunan Tionghoa. Teriakan tersebut kemudian menyebar dengan sangat cepat ke seluruh kampus ITB. Para mahasiswa keturunan Tionghoa ketakutan sebab mereka tiba-tiba menjadi sasaran amuk mahasiswa lain, teman mereka sendiri. Akibat kerusuhan dalam kampus itu, beberapa mahasiswa keturunan Tionghoa cedera dan sejumlah sepeda motor milik mereka dibakar.
Yang sama sekali tidak disangka oleh para aktivis kreator sandiwara pemukulan itu, kabar terjadinya pemukulan tersebut dengan cepat menyebar ke luar kampus. Lebih tidak disangka lagi, tiba-tiba saja terjadi huru hara besar-besaran di seluruh Bandung. Berita pemukulan yang beredar di tengah masyarakat banyak yang sudah berubah dari ‘kejadian sebenarnya’. Korban berjatuhan, tak sedikit rumah, toko dan kendaraan milik warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran amuk massa. Kerusuhan dengan cepat menyebar pula ke daerah lain dalam hitungan hari, ke Cianjur, Sumedang, Sukabumi hingga Bogor. “Niat awal kami hanya membuat mahasiswa keturunan Tionghoa sadar dan mau berbagi tempat duduk paling depan dengan mahasiswa pribumi. Kami sungguh tidak menduga bahwa kejadian di dalam kampus kami itu akan berubah menjadi kerusuhan rasial di Bandung dan kota-kota lainnya,” pungkas sang tokoh mahasiswa.
Pada waktu itu, banyak mahasiswa ITB yang kehidupan ekonominya di bawah standar. Jangankan memenuhi kebutuhan kuliah seperti buku, membeli makan sehari-hari saja mereka kesulitan. Namun hal yang sama tidak terjadi pada mahasiswa keturunan Tionghoa. Keadaan ini menanamkan benih-benih kecemburuan. Setelah kerusuhan meletus, Gubernur Jawa Barat waktu itu, Mashuri, menyerukan agar golongan Tionghoa mengubah sikapnya dan jangan hanya memikirkan persoalan ekonominya sendiri.
Kerusuhan rasial bukan hanya sekali dua kali jadi setelah Indonesia merdeka. Salah satu kerusuhan terparah, dan juga menyasar keturunan Tionghoa, terjadi pada Mei 1998. Setiap terjadi kerusuhan rasial, kesenjangan ekonomi jarang sekali dituding menjadi penyebab. Rendahnya wawasan kebangsaan, terlalu sempit memahami perbedaan agama atau etnis, masalah politik, atau sekadar insiden sepele yang tidak sengaja, paling sering diopinikan sebagai akar masalah.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa kesenjangan ekonomi di kalangan masyarakat pernah dan masih menjadi bahaya laten. Banyak bukti bahwa kesenjangan ekonomi melahirkan kecemburuan. Pada waktunya kecemburuan itu akan meledak (lagi), menimbulkan kerusakan materil dan moril yang tak terperikan.
Pada kasus ‘pemukulan’ mahasiswa di kampus ITB tahun 1963 itu, tak terbayang bagaimana masyarakat yang tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian tersebut merespon dengan merusak properti milik warga keturunan Tionghoa. Karena kejadiannya serentak dan meluas, tak bisa dipungkiri bahwa ada perasaan negatif—kecemburuan yang dirasakan mahasiswa ITB—ternyata sama-sama dirasakan di kalangan masyarakat, yang ditujukan kepada warga keturunan Tionghoa. Situasi ini amat mungkin juga masih terus terjadi hingga sekarang. Inilah bahaya laten yang perlu segera dicari solusinya, bukan diabaikan atau malah dianggap mengada-ada.
Sebenarnya, sasaran amuk massa pada kerusuhan rasial ditujukan kepada golongan kaya yang dari sisi jumlah umumnya merupakan minoritas. Ketika golongan kaya itu identik dengan keturunan Tionghoa, maka mereka menjadi sasaran, seolah-olah akar kebenciannya akibat mereka berbeda ras-nya dengan mayoritas. Padahal tidak seperti itu faktanya. Andai saja golongan kaya itu identik dengan suku Jawa, maka suku Jawa lah yang akan menjadi sasaran kebencian. Andai golongan kaya itu identik dengan pemeluk agama Islam, maka orang Islam yang akan menjadi korban. Maka, menjadi Tionghoa, Jawa, Minang, Islam, Kristen, bukanlah problem utamanya. Kesenjangan ekonomi-lah yang sesungguhnya menjadi biang kerok.
Karakter dasar kesenjangan ekonomi adalah sejumlah besar kekayaan terkonsentrasi di tangan sedikit penduduk. Jadi dari segi ekonomi, pemilik sebagian besar kekayaan itu nyaris selalu menjadi minoritas. Menurut Amy Chua penulis buku World on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability, meskipun jumlahnya amat sedikit, kelompok terkaya itu market dominant. Maka mereka diistilahkan dengan “minoritas market dominant.” Dengan kapital yang begitu besar di tangan, mereka menjadi penguasa ekonomi yang sesungguhnya. Namun rasa cemburu membuat mereka segera menjadi musuh bersama, dan cara yang paling mudah untuk mengenali musuh bersama itu adalah dengan pelabelan etnis.
Bukan hanya di Indonesia, kata Amy Chua, minoritas yang menjadi market dominant dapat ditemukan di seluruh dunia. Keturunan Tionghoa adalah minoritas market dominant di Asia Tenggara. Minoritas kulit putih adalah market dominant di Afrika Selatan, juga di Brazil, Ekuador, Guatemala dan banyak negara Amerika Latin lainnya. Minoritas orang India menjadi market dominant di Afrika Timur, orang Libanon di Afrika Barat, orang Kroasia di Yugoslavia, dan orang Yahudi di Rusia pasca-komunisme.
Dalam masyarakat di mana ada minoritas market dominant itu, politisi oportunis sering memanfaatkan warga pribumi yang frustrasi dengan nasib ekonominya, mengobarkan kebencian dan dendam kepada minoritas. Pada saat yang sama, politisi itu datang ke warga minoritas market dominant dan menawarkan ‘solusi’ supaya mereka tidak menjadi korban dari kebencian mayoritas, yang tentu saja ‘solusi’ itu ada nilai finansialnya. Menurut Amy Chua, kesenjangan ekonomi yang dimanfaatkan oleh avonturir politik inilah yang melatarbelakangi pembunuhan massal di kamp konsentrasi Serbia pada awal tahun 1990-an, pembantaian 800.000 etnis Tutsi oleh etnis Hutu di Rwanda tahun 1994, serta kekerasan atas warga keturunan Tionghoa di Indonesia tahun 1998.
Perbedaan level ekonomi di kalangan masyarakat mungkin akan tetap ada sampai kapan pun. Namun ketika perbedaan itu berubah menjadi kesenjangan yang lebar, bibit malapetaka sedang disemai. Lantas, apa yang menyebabkan timbulnya kesenjangan itu? Jawabnya, kapitalisme.
Berbeda dengan masa-masa sebelumnya yang penuh penyangkalan, saat ini konglomerat fanatik kapitalisme pun terang-terangan mengakui bahwa kesenjangan adalah masalah utama kapitalisme. Ray Dalio, konglomerat AS pemilik hedge fund terbesar di dunia dengan kekayaan bersih 18 miliar dolar AS berkata, “Kapitalisme saat ini sudah tidak bermanfaat bagi mayoritas warga AS. Itulah realitasnya. Saat ini, 10% di antara 1% penduduk terkaya di AS memiliki kekayaan setara dengan total kekayaan 90% penduduk di bagian terbawah.” Konglomerat AS lainnya, Warren Buffett, berkata bahwa masalah ekonomi AS adalah segelintir orang kaya seperti dirinya. Pasar bebas telah menciptakan situasi di mana “kekayaan baru” terbagi secara tidak proporsional, secara ekstrim mengalir kepada sedikit orang yang sebelumnya sudah amat kaya.
Bahkan BJ Habibie pernah mengungkapkan hasil riset tentang distribusi nilai tambah ekonomi di Indonesia pasca-reformasi. Proporsinya sungguh mencengangkan, 1:3: 170. Maksudnya, pada setiap “kue ekonomi” yang dihasilkan, masyarakat terbawah mendapat 1 bagian, golongan menengah 3 bagian, dan pemilik kapital 170 bagian.
Namun, banyak pengambil kebijakan tetap bersikukuh bahwa kapitalisme adalah satu-satunya cara yang terbukti ampuh menghasilkan kemakmuran. Jadi, kapitalisme persis kemoterapi untuk mengobati kanker. Para dokter mengakui bahwa kemoterapi, yang membumi hangus semua sel sehat dalam tubuh demi membasmi sebagian sel yang terkena kanker, adalah cara paling tidak manusiawi untuk menghilangkan penyakit pada manusia. Namun karena dianggap tidak ada pilihan lain, teknik pengobatan ini tetap dilakukan.
Setelah terjadinya kerusuhan oleh warga pribumi terhadap investasi asing dan warga keturunan Tionghoa tahun 1969, pemerintah Malaysia memberlakukan strategi kontroversial untuk menyeimbangkan kekayaan antar etnis. Namanya NEP (the New Economy Policy). Target awal NEP adalah mengubah rasio kepemilikan ekonomi, dari 2,4: 33: 63 (pribumi, non-pribumi, asing) menjadi rasio 30:40:30. Di bidang pendidikan, kebijakan kuota diberlakukan untuk memberikan kesempatan lebih besar warga pribumi mengecap pendidikan lebih tinggi. Hasilnya, pada tahun 1992, pribumi Malaysia yang menduduki profesi-profesi menjanjikan seperti dokter, akuntan, dan insinyur meningkat menjadi tiga persen, dari enam persen 20 tahun sebelumnya. Untuk menjustifikasi kebijakan tersebut, Tun Abdul Razak menyatakan, “Persatuan nasional tidak dapat dicapai tanpa kesetaraan dan keseimbangan di antara kelompok sosial dan etnis Malaysia, (yaitu kesetaraan dan keseimbangan) dalam berpartisipasi membangun negara, dan dalam memperoleh manfaat modernisasi dan pertumbuhan ekonomi”.
Setelah reformasi, kesenjangan ekonomi Indonesia justeru semakin menjadi-jadi, bahkan terparah dalam sejarah. Saat ini kita melihat betapa mudahnya penduduk Indonesia menjadi radikal, intoleran, suka kekerasan. Kesenjangan ekonomi yang semakin lebar sudah pasti berkontribusi dalam kemunculan berbagai penyakit mental ini.
Ada baiknya pemerintah segera memberlakukan darurat nasional kesenjangan ekonomi. Berbagai langkah khusus (affirmative action) perlu segera diambil untuk mengatasi bahaya ini. Bersikap abai terhadap kesenjangan ekonomi hanya akan memperparah kondisi. Perlu diingat kembali hikmah dari krisis moneter 1997, bahwa angka-angka statistik kemajuan ekonomi sama sekali tidak mampu menggambarkan persoalan ekonomi yang sesungguhnya sedang terjadi.
Dan perlu pula diingat-ingat kembali, dihidupkan kembali, amanat para founding fathers kita. Salah satunya yang disampaikan Bung Karno 74 tahun lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 1945: “Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum Kapitalnya merajalela ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?”
Ketika Perut Kita Dikuasai Bangsa Lain
/0 Comments/in Article /by adminOleh: Wahdat Kurdi/GNKRI
Tiga tahun berturut-turut, sejak 2016, Indonesia menjadi negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Di antara 20 terbesar negara pengimpor bahan tepung terigu ini, hanya Indonesia dan Filipina yang tidak memiliki kebun gandum dalam negeri. Artinya, bagi kedua negara ini, gandum jelas bukan “makanan asli” rakyatnya.
Konsumsi gandum rakyat Indonesia terus naik tak terbendung. Setiap tahun, kenaikannya mencapai 1 kg per kapita. Saat ini konsumsi gandum kita sudah mencapai 25 persen dari level konsumsi beras. Nilai impornya sekitar Rp 36 triliun pada tahun 2018 lalu. Gandum menjadi sumber karbohidrat terbanyak yang kita konsumsi setelah beras.
Rabu, 9 Oktober 1968 menjadi hari bersejarah bagi politik pangan Indonesia. Pada hari itulah Presiden Soeharto memutuskan untuk pertama kalinya, Indonesia akan mengimpor 390.000 ton terigu dari AS. Waktu itu, kita belum memiliki industri penggilingan gandum sehingga impor harus dalam bentuk tepung terigu.
Mengapa impor terigu dari AS? Sebab AS menyediakan terigu dengan skema ‘bantuan’. AS menjanjikan harga terigu ‘amat murah’, bahkan sebagian gratis karena merupakan hibah. Ini menjadi poin penting bagi Presiden Soeharto mengingat waktu itu Indonesia tidak punya cukup uang untuk mengimpor bahan pangan.
Mendapat terigu dengan cara seperti itu, bagi rejim Orde Baru, ibarat mendapat durian runtuh. Di masa Orde Lama Indonesia berulang kali mengalami krisis pangan, terutama beras, baik karena masalah produksi dalam negeri maupun karena persoalan daya beli. Karena itu, pasokan terigu impor dalam jumlah amat besar bisa menjadi solusi. Sebagai sesama komoditas serealia, terigu dianggap bisa menggantikan beras. Dari sisi harga, terigu juga dianggap lebih stabil.
Secara politik, keberhasilan mengatasi masalah pangan punya poin besar bukan hanya bagi pemerintahan Soeharto, tapi juga bagi AS. Bagi rejim Suharto, rakyat jelas akan menganggapnya lebih kapabel mengurus negara dibanding rejim Orde Lama. Bagi AS, tentu kukunya akan kembali tajam di hadapan Indonesia. Bantuan ini adalah pukulan telak bagi sisa loyalis Bung Karno yang beberapa tahun sebelumnya getol meneriakkan slogan “go to hell with your aid” kepada AS.
Pemerintah AS memang gemar memberikan ‘bantuan’ pangan kepada negara lain melalui program resmi bernama Food for Peace. Program ini diundangkan di masa Presiden Eisenhower, terkenal dengan sebutan PL (Public Law) 480, dan terus berlanjut hingga kini.
Meski AS menggembar-gemborkan program ini bermotif kemanusiaan, dunia tahu sepenuhnya bahwa tujuan utama AS adalah ekonomi dan politik. Pemerintah AS bergantung kepada program ini untuk ‘membuang’ surplus produk pertanian dalam negerinya agar harga di tingkat petani tidak anjlok. Melalui program Food for Peace, pemerintah AS berperan sebagai agen pemasaran. Tugasnya sederhana, mencari pembeli produk agrikultur yang dihasilkan petani negara itu.
Dalam pidatonya ketika menandatangani PL 480, Eisonhower menyatakan UU tersebut menjadi dasar bagi ekspansi permanen ekspor produk pertanian AS. “Manfaat UU ini akan abadi bagi diri kita sendiri dan orang-orang di negara lain,” ujar Esinhower.
“PL 480,” lanjut Eisenhower, “akan menjadi solusi untuk negara-negara yang kekurangan pangan, miskin uang, dan pada saat yang sama menciptakan pasar luar negeri bagi produk AS. Dengan PL 480, negara-negara yang kekurangan pangan juga dapat membayar impor pangan dari Amerika dengan mata uang mereka sendiri, bukan dalam dolar AS. Tujuan undang-undang ini adalah untuk memperluas perdagangan internasional, meningkatkan stabilitas ekonomi pertanian Amerika, memanfaatkan secara maksimal surplus komoditas pertanian, memajukan kebijakan luar negeri, serta merangsang ekspansi perdagangan luar negeri komoditas pertanian yang diproduksi Amerika Serikat.”
Gaung Food for Peace menggema ke seluruh dunia dalam waktu singkat. Selain Indonesia, tak kurang dari 50 negara yang menerima ‘bantuan’ AS itu, kebanyakan adalah negara Dunia Ketiga. Buat politisi AS, berita ini sungguh menggembirakan. “Aku telah mendengar,” kata Senator AS Hubert Humphrey, “bahwa orang-orang tergantung kepada negara kita karena (program) pangan. Seharusnya itu bukan berita baik. Tapi bagiku itu berita baik, sebab sebelum melakukan apa pun orang harus makan. Dan jika Anda mencari cara agar orang bersandar dan bergantung kepada Anda, cara itu adalah melalui ketergantungan pangan.”
Kembali ke Indonesia. Karena mendapat terigu dari program bantuan, pada mulanya rakyat bisa membelinya dengan harga murah. Begitu murahnya harga terigu yang dijual di dalam negeri waktu itu, hingga harganya lebih rendah sekitar 50 persen dibandingkan harga terigu internasional.
Kebijakan penjualan terigu dengan harga murah itu terbukti tak percuma. Konsumsi terigu per kapita meningkat cukup tajam dalam waktu amat singkat. Konsumsi tahun 1966 baru sebesar 0,43 kg per kapita per tahun, dan tahun 1969 telah mencapai 3,2 kg per kapita per tahun. Artinya, konsumsi terigu meningkat hampir tujuh kali lipat hanya dalam waktu tiga tahun.
Kini, setengah abad sejak impor besar-besaran terigu dimulai, konsumsi terigu Indonesia mencapai jumlah spektakuler. Bisa jadi, Pak Harto sendiri tidak membayangkan bahwa orang Indonesia akan sebergantung ini kepada terigu.
Mungkin pula Pak Harto tidak mengetahui, bahwa di dalam terigu terkandung senyawa khas yang bernama gluten. Penguraiannya dalam tubuh akan menghasilkan polipeptida yang akan masuk ke otak dan menghasilkan opioid effect, efek kecanduan persis seperti narkotika. Orang yang mengonsumsi makanan berbahan terigu akan terus mengalami ketagihan, yang hanya bisa hilang sesaat jika mereka mengonsumsinya kembali.
Inilah yang dapat menjelaskan mengapa ketika terigu tidak lagi murah saat ini—karena ia sudah harus dibeli dari jalur komersial—kita tetap menjadi pecinta terigu. Bahkan terigu tetap dicari dan dibeli meski harganya sedang melambung. Bahkan terigu tetap dikonsumsi di saat kebutuhan karbohidrat kita sudah dicukupi oleh beras.
Tahun 2007, terjadi kegagalan panen gandum secara massif di Australia. Perlu diketahui, saat itu Australia sudah menjadi eksportir gandum terbesar ke Indonesia. Harga gandum melonjak lebih dua kali lipatnya. Akibatnya, seperempat industri kecil pengguna terigu di Indonesia gulung tikar karena tidak mampu bertahan dari kenaikan harga ini.
Kapok? Tentu saja tidak. Adiksi gandum membuat kita terus menuntut agar komoditas ini tersedia. Bahkan meski kita rela memangkas bea masuk gandum sampai nol persen agar harganya tetap terjangkau. Atau kita mesti membungkuk kepada bangsa lain demi memperolehnya.
Salah satu bahaya ketergantungan pangan pernah diingatkan Bung Karno. “Kalau misalnya peperangan dunia ketiga meledak,” ujar Bung Karno, “Entah besok entah lusa, dan perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Birma terputus karena tiada kapal pengangkutan, dari mana kita mendapat beras? Haruskan kita mati kelaparan? Buat apa kita membuang devisa bermilyun-milyun tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari negeri lain, kalau ada kemungkinan untuk memperlipatgandakan produksi makanan sendiri? … Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak aanpakken soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami celaka!”
Tapi, sudahlah, melahap mie instan memang lebih nikmat dibandingkan memikirkan masa lalu.
Menabur Kapitalisme, Menuai Kesenjangan
/0 Comments/in Article /by adminOleh: Wahdat Kurdi/GNKRI
Berapa angka Gini Ratio ideal yang hendak dicapai Indonesia?
Lebih tujuh dasawarsa merdeka, kita belum memiliki jawaban untuk pertanyaan sederhana di atas. Memang, setiap tahun pemerintah menargetkan angka Gini Ratio tertentu untuk diwujudkan. Angka itu biasanya lebih rendah dari tahun sebelumnya. Misal dalam RAPBN 2019, Gini Ratio ditetapkan 0,385, lebih rendah dari Gini Ratio tahun 2018 sebesar 0,389.
Apakah angka 0,389 atau 0,385, atau angka berapa pun itu, sudah menunjukkan keadilan sosial yang menjadi cita-cita negara?
Sekadar mengingatkan, Gini Ratio adalah ukuran untuk mengetahui kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi angkanya, semakin senjang ekonomi, semakin jauh kita dari keadilan sosial.
Saat ini, negara-negara Skandinavia umumnya memiliki Gini Ratio paling rendah dibanding negara lain di dunia. Gini Ratio mereka berkisar 0,25 – 0,33. Negara-negara Skandinavia juga nyaris selalui menduduki posisi teratas dalam Indeks Kebahagiaan. Sangat mungkin kedua hal ini berkaitan. Semakin merata kekayaan di antara warga, semakin bahagia hidup mereka.
Richard Wilkinson dan Kate Pickett dalam buku “The Spirit Level” menyimpulkan, semakin rendah kesenjangan pendapatan dan kekayaan, semakin baik kesehatan fisik, kesehatan mental, pendidikan, kesejahteraan anak, mobilitas sosial, tingkat kepercayaan dan kehidupan masyarakat. Sebaliknya, semakin lebar kesenjangan, semakin tinggi tingkat penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, obesitas, kekerasan, dan kehamilan remaja. Wilkinson dan Pickett menggunakan data 23 negara maju dan negara-negara bagian di Amerika Serikat untuk mendapat temuannya itu.
Pada tahun 2018, Indeks Kebahagiaan Indonesia urutan ke-96 di dunia. Gini Ratio kita tahun itu 0,389. Jauh di atas Gini Ratio Inggris (0,314) dan masih di atas Amerika Serikat (0,378).
Pemerintah berusaha menurunkan Gini Ratio dengan berbagai program. Pada RAPBN 2019, pemerintah hanya berani menurunkan Gini Ratio 0,004 atau 0,4 persen dari tahun sebelumnya. Jika sikap ini dipertahankan, dan andai target itu memang bisa dicapai secara konsisten, maka butuh waktu 20 tahun untuk mencapai Gini Ratio seperti yang dimiliki Inggris. Sekali lagi, andai Gini Ratio bisa turun terus setiap tahunnya.
Faktanya, Gini Ratio Indonesia sejak tahun 1999 cenderung naik. Antara tahun 1976 – 1999, rata-rata Gini Ratio Indonesia 0,332. Kurun waktu 1999 – 2018, rata-rata Gini Ratio 0,387. Jadi sejak era reformasi, ekonomi semakin tidak adil. Harta kekayaan semakin terkonsentrasi di tangan segelintir orang.
Mengapa bisa begitu?
Dulu, kesenjangan ekonomi diyakini para ekonom sebagai akibat dari perbedaan bakat atau keterampilan individu. Orang dengan bakat atau keterampilan berbeda akan memiliki kekayaan yang berbeda pula.
Karena itu, agar bisa mendapat kue ekonomi lebih besar, orang-orang ‘biasa’ harus terus ditingkatkan keahliannya. Mereka harus belajar dan terus belajar agar bisa lebih kompetitif.
Anggapan ini kemudian memudar karena sulit untuk membuktikannya. Misal, di Amerika Serikat, 74 persen kekayaan dimiliki 10 persen populasi. Apakah bukti bahwa 10 persen populasi itu memiliki bakat atau keterampilan yang berbeda dengan 90 persen sisanya, sehingga mereka memiliki “nasib ekonomi” yang berbeda? Apakah 10 persen populasi itu memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, atau pernah mengikuti berbagai program kursus keahlian yang lebih hebat dibanding warga kebanyakan?
Karena anggapan tersebut sulit dicari dasarnya, kini para ekonom dunia mulai menawarkan ‘teori’ lain. Kesenjangan ekonomi, kata mereka, adalah endemik kapitalisme. Meski bukan penyebab, kapitalisme diakui memperburuk kesenjangan. Jadi, di mana pun kapitalisme diterapkan, di sana ada jurang yang semakin menganga antara si kaya dan si miskin.
Tapi jangan khawatir. Kapitalisme sendiri, menurut mereka, menyediakan obat yang mujarab untuk menyembuhkan kesenjangan itu. Misalnya melalui penerapan pajak progresif, pajak warisan, atau rupa-rupa program redistribusi kekayaan.
Kapitalisme, bagi jamaah fanatiknya, adalah dogma yang tak terbantahkan. Ia memang selalu menawarkan puncak gemerlap kemakmuran melalui berbagai jalan yang mudah.
Berulang kali kita dibuat takjub, kapitalisme berhasil menjadikan negara-negara di Eropa dan AS mengubah surplus sektor pertanian dan perdagangannya menjadi investasi di bidang industri dan jasa. Begitu resep yang sama kita terapkan, surplus itu menguap entah ke mana.
Pada tahun 2018, Forbes merilis kekayaan total 10 orang terkaya Indonesia yang berjumlah Rp 1.111 triliun. Angka itu setara dengan 45 persen anggaran belanja negara tahun 2019.
Tahun sebelumnya, pemerintah merilis deklarasi harta Rp 4.600 triliun dari hampir satu juta orang warga Indonesia. Artinya, kurang dari 0,5 persen penduduk Indonesia memiliki harta setara dua kali anggaran belanja negara tahunan.
Puluhan tahun lampau kita bersukacita menanam benih kapitalisme. Saat ini, semoga tidak dengan dukacita, kita mulai menuai hasilnya.
MENG-ARIF-KAN RUANG PUBLIK KEWARGANEGARAAN
/0 Comments/in Article /by adminOleh: Fadhly Azhar/Kabid Kastrat GNKRI
Di negara republik sejatinya merupakan negara yang sangat teridentifikasi jelas dengan konsep ruang publik. Sebuah negara republik berkaitan erat dengan konsep kewarganegaraan dan kerakyatan. Republik merupakan sebuah negara di mana sebuah rezim pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan. Republik sering dipimpin atau dikepalai oleh seorang presiden atau kepemimpinan demokratis lainnya yang terpusat. Istilah ini berasal dari Bahasa Latin res publica, atau “urusan warga”, yang artinya negara dimiliki bersama serta dikawal oleh rakyat.
Hal ini juga memperkuat adagium “kebebasan manusia terbatas oleh kebebasan manusia lainnya”. Manusia yang dikatakan sebagai individu juga menjadi bagian dari masyarakat. Sebuah masyarakat, bagaimanapun bentuk masyarakatnya, memerlukan suatu pondasi nilai untuk membangun dan mengarahkan masyarakatnya menuju kemajuan dan peradaban, baik itu religius maupun nilai luhur nenek moyangnya.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa manusia merupakan bagian dari masyarakat, maka nilai dasar kemanusiaan adalah bagaimana ia mampu berinteraksi, saling menghargai, berkumpul, dan melakukan kreasi dalam sebuah masyarakat komunal. Dari sinilah pijakan distingsi ruang publik tersebut dan ruang privat dalam kehidupan berwargenagara. Hal tersebut kemudian tidak bisa saling menegasikan dalam suatu masyarakat, tapi perlu demarkasi satu sama lain untuk dapat saling dipahami.
Thomas Hobbes dalam buku Syarif Romas, “Kekerasan dalam Kerajaan Surgawi”, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk perang. Manusia dalam ini merupakan individu yang senantiasa bersaing dalam hal yang menurutnya baik secara sehat maupun tidak sehat pada materi dan kekuasaan. Pendapat lain yang tidak jauh berbeda datang dari filsuf modern Jerman, Friedrich Nietzsche bahwa menurutnya “manusia secara alamiah memiliki kecenderungan untuk berkuasa”. Korelasi dari pendapat-pendapat tersebut, akhirnya kita mampu mengetahui bahwa keinginan manusia sebagai individu dalam masyarakat dapat juga menjalar kepada keinginan masyarakat itu sendiri sebagai kumpulan-kumpulan individu dengan keinginannya.
Apa relasinya dengan ruang publik?. Ruang publik adalah ruang yang dapat menampung aspirasi publik dari sekian kumpulan individu dalam hubungan kewarganegaraan. Padang pasir tidak bisa disebut sebagai ruang publik karena tidak ada demarkasi antar individu yang membatasinya. Ruang publik menurut Jurgen Habermas dalam karyanya Strukturwandel der offentlichkeit: Untersuchungen zu einer Kategorie der burgerlichen Geselchaft (Perubahan Struktural Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis) merupakan ruang yang menjembatani antara keinginan negara dan keinginan masyarakat sipil.
Kepentingan negara dalam hal ini tentunya agar penyelenggaraan negara berjalan dengan baik untuk kebaikan-kebaikan masyarakatnya. Tentu tidak sulit menemukan ruang publik Jurgen Habermas dengan konteks bangsa kita. Di Indonesia, secara de facto, ruang publik seakan-akan bergeser menjadi ruang kekuasaan kelompok atas kelompok lainnya. Inilah yang menjadi fokus tulisan saya ini, dimana ruang publik telah diproduksi maknanya menjadi ruang penindasan antar warga yang tanpa sadar telah melakukannya satu sama lainnya.
Subordinasi kelompok: sebuah pergeseran
Pergeseran ruang publik ini terjadi di saat narasi kewargaan telah berkurang maknanya sebagai solidaritas antar warga yang saling menghargai dan tidak saling menyakiti. Jangankan melucuti makna kewargaan, dalam masyarakat yang berusaha untuk menjaga lingkungannya pun ikut terganggu dengan adanya pergeseran ini.
Indikasi atas pergeseran negatif tersebut adalah dengan adanya ‘klakson’ dan ‘knalpot’ yang digunakan untuk melakukan marginalisasi terhadap warga lainnya, billboard dan alat kampanye para caleg yang merusak lingkungan serta mensubordinasi alam pikiran masyarakat yang muak dengan janji, glorifikasi kelompok masyarakat seperti adanya dua kubu yang nihil gagasan (kampret dan cebong), kemudian yang terjadi akhir-akhir ini adalah munculnya istilah privat-keagamaan peyoratif sejenis (kafir, munafik, infidel, gentile dan sesat) yang berpotensi membunuh kreasi berfikir dan menghalangi prinsip berpendapat antar satu manusia dengan manusia dengan kepentingan kelompoknya sendiri.
Inilah kemudian yang melahirkan subordinasi (penindasan) suatu kelompok atas kelompok lainnya. Prinsip seeperti ini tentunya merusak prinsip ruang ruang publik kewarganegaraan, dimana ruang publik diciptakan untuk menjaga harmonisasi antar kelompok masyarakat. Dalam hal ini, tentunya, banyak sekali usaha dan tindakan untuk meng-arif-kan ruang publik kewarganegaraan kita. Ruang publik yang sejatinya menjaga prinsip gotong royong sebagai makna puncak dari azas bersama kita, yaitu Panca-sila.
Namun, meng-arif-kan ruang publik akhir-akhir ini sangat terasa berat karena indoktrinasi superior kelompok telah menjadi paradoks nilai yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan kewarganegaraan kita. Tentunya persoalan indoktrinasi tersebut lagi-lagi bertujuan untuk mengancam prinsip kewargenagaran yang hakiki, yaitu penguatan kelompok yang superior atas kelompok lainnya.
Tuduhan sekuler: cermin yang retak
Adanya usaha untuk meng-arif-kan ruang publik hari ini selalu berusaha dibunuh dengan tuduhan sekuler. Kita tahu bersama bahwa sekuler merupakan berpisahnya urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan. Tentunya tuduhan seperti ini hanyalah tuduhan emosional yang tidak mempunyai dasar pengetahuan yang mendalam mengenai epistemi sekuler. Meng-arif-kan ruang publik sejatinya sangat jauh makna-nya dengan sekulerisasi ruang publik. Meng-arif-kan ruang publik bahkan mengakomodir nilai-nilai kearifan dan keagamaan pada ruang publik. Panca-sila tidak pernah melarang perayaan keagamaan. Panca-sila sebagai azas bersama untuk meng-arif-kan ruang publik tentu tidak pernah melarang masyarakatnya untuk melakukan hari raya/hari besar keagamaan.
Inilah kenapa, ada absurditas makna ketika tuduhan sekuler ditujukan kepada usaha untuk meng-arif-kan ruang publik. Dengan adanya tuduhan tersebut, tentu kita patut curiga bahwa jangan-jangan sekulerisasi ruang publik malah terjadi di saat adanya usaha untuk menghalangi kearifan ruang publik itu sendiri. Bukankah usaha menonjolkan istilah peyoratif dalam ruang publik kewarganegaraan kita adalah usaha untuk mencederai kehidupan umat beragama dalam urusan kehidupan sehari-hari berwarganagara?
Literasi ruang publik
Untuk meng-arif-kan ruang publik tentu saja tidak menjadi urusan politisi, kaum intelektual dan budayawan saja. Menga-arif-kan ruang publik harus menjadi indoktrinasi baru yang mencerahkan kehidupan kewargenagaraan kita.
Negara sebagai pengayom yang mengatur kehidupan kewargenagaraan sehari-hari harus bekerja sama dengan kaum intelektual, politisi , budayawan dan ormas keagamaan agar kearifan ruang publik terinternalisasi pada seluruh warga negara bangsa. Ketika, kearifan ruang publik telah terinternalisasi, tentunya masing-masing individu warga negara bangsa akan saling mengontrol dan saling membatasi istilah peyoratif bahkan tindakan peyoratif antar sesama warga dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, usaha bersama negara dan elemen bangsa yang menginginkan pengarusutamaan kearifan ruang publik tentu membutuhkan aksi komprehensif dan terukur yang disebut literasi ruang publik.
Literasi ruang publik merupakan tahapan awal di mana usaha tersebut bertujuan untuk menciptakan kearifan ruang publik itu sendiri. Literasi ruang publik merupakan aksi yang menjadi turunan operasional Panca-sila kita agar ruang publik kembali pada rel yang disebut “gotong royong”. Kembali pada pernyataan yang ideal dalam diri kita. Masihkah politisi kita, kaum intelektual kita, budayawan kita bahkan organisasi kemasyarakatan yanga da di dalamnya bercita-cita menuju “gotong royong”? Berniatkah elemen-elemen bangsa tersebut menciptakan kearifan ruang publik menuju kohesi sosial yang rukun dan berkeadilan?
Apabila masih, maka literasi ruang publik yang bertujuan untuk menjaga soliditas nilai kearifan ruang publik merupakan keharusan.
Revolusi Mental Ekonom(i) Kita
/0 Comments/in Article /by adminOleh: Wahdat Kurdi/GNKRI
”Salah satu sisa kolonialisme yang menghambat kemajuan, yang mesti disapu selekas-lekasnya,” kata Bung Hatta, ”ialah inferioriteits complex, yaitu rasa diri-rendah.” Menurut Hatta, rasa rendah diri itu ditanam dalam jiwa rakyat kita oleh penjajahan yang berabad-abad lamanya. Karena amat berbahaya, ujar Hatta, ia harus kita berantas sehabis-habisnya.
Rasa rendah diri itu bisa muncul dalam bermacam bentuk, di berbagai bidang. Salah satunya ekonomi. Tapi dalam hal ini bukan hanya rakyat Indonesia, bahkan nyaris seluruh warga dunia dijangkiti inferiority complex. Terutama sekali jika mereka dihadapkan kepada kapitalisme.
Setelah Tembok Berlin runtuh dan Uni Soviet bubar, laju kapitalisme semakin tak tertahankan. Apalagi pasca Cina masuk WTO pada tahun 2001. ”Capitalisme Alone,” ujar Branco Milanovic menjuduli bukunya yang terkenal itu. Kapitalisme seng ada lawan.
Kapitalisme begitu berkuasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia, dunia dikuasai sistem ekonomi tunggal. Gaya kapitalisme Cina, Amerika, Indonesia, atau negara-negara Nordik tentu berbeda-beda. Namun semuanya bersimpuh di hadapan singgasana kapitalisme yang sama.
Indonesia sejak masa pertengahan Orde Baru sudah menerapkan kapitalisme. Sampai kemudian, disadari fakta bahwa kapitalisme itu ternyata menimbulkan masalah kesenjangan dan konglomerasi. Maka diadopsilah sistem ekonomi kerakyatan. Menurut almarhum Mubyarto, guru besar ekonomi UGM, sistem ekonomi kerakyatan adalah Sistem Ekonomi Pancasila. Ekonomi kerakyatan sendiri tidak berumur panjang. Indonesia kemudian kembali lagi ke pangkuan kapitalisme, hingga saat ini.
Untuk mengatasi luka kapitalisme yang semakin menganga, para teknokrat ekonomi Indonesia meresepkan satu obat: liberalisasi total. Jadi, kesenjangan ekonomi, kemiskinan dan berbagai masalah yang bermekaran di alam kapitalisme itu bukan efek samping kapitalisme. Justeru karena kapitalisme tidak dikonsumsi bersama obat lain yang bernama liberalisasi total itu. Maka sampai pelosok kampung, apa pun harus diliberalisasi: pasar, politik, kalau perlu agama.
Namun, gara-gara Tiongkok, kemujaraban liberalisasi total itu menjadi sulit dibuktikan. Tiongkok sukses mengadopsi kapitalisme dengan semata-mata meliberalisasi pasar, tanpa harus menelan pil liberalisasi politik. Ramuan ekonomi kapitalistik plus politik komunistik menyulap Tiongkok menjadi raksasa ekonomi dunia dalam sekejap, membuat kampiun kapitalisme Amerika Serikat cemburu sekaligus khawatir. Para teknokrat ekonomi kebingungan menjelaskan fenomena ini. Di waktu yang sama, negara-negara Barat penganut liberal ekstrim justeru harus berjuang menahan kebangkitan populisme dan sayap kanan.
Di saat negara lain baru mengalami adiksi kapitalisme, warga Eropa dan Amerika Serikat mulai capek dengan ideologi ini. Survey terbaru yang diselenggarakan oleh Victims of Communism Memorial Foundation (VOC) tentang sikap warga Amerika Serikat terhadap sosialisme, komunisme dan kolektivisme cukup mengagetkan. Menurut survey tersebut, 70% milenial akan memilih kandidat sosialis. Jumlah milenial yang “benar-benar suka” kandidat sosialis berlipat dua dibandingkan tahun 2018. Persentase generasi milenial dan generasi Z yang masih suka kapitalisme menurun tinggal 50% saja. Sedangkan generasi milenial yang menyukai komunisme meningkat menjadi 36%, padahal tahun 2018 jumlahnya hanya 28%.
Hidup dengan kapitalisme memang melelahkan. Tidak seperti yang dijanjikan oleh para pengusungnya, kapitalisme isinya “salah melulu”. Awal 1900-an, kapitalisme—dalam bentuknya yang radikal sebagaimana diteorikan oleh Adam Smith—masih digandrungi oleh banyak ekonom dan pemerintah terutama di Eropa Barat dan AS. Tetapi Great Depression memaksa kapitalisme memberi peran kepada pemerintah untuk campur tangan dalam perekonomian.
Jadi, karena teori kapitalisme Adam Smith keliru, ia harus mengalami revisi. Bahkan revisi yang sifatnya sangat fundamental: kapitalisme harus bergandeng tangan dengan intervensi pemerintah. Inilah yang disebut perekonomian campuran, bentuk kapitalisme yang digunakan di seluruh dunia saat ini.
Paul Samuelson, yang sering disebut ”Nabi-nya kaum kapitalis”, pengarang textbook ekonomi yang bukunya digunakan sebagai bahan ajar di banyak fakultas ekonomi termasuk di Indonesia menyatakan: ”Saat ini para pemimpin pemerintahan menyadari bahwa perekonomian modern menghadapi satu dilema makroekonomi, yaitu tidak satu negara pun dengan perekonomian pasarnya (maksudnya perekonomian campuran) berhasil mempertahankan tingkat inflasi yang rendah dan penggunaan tenaga kerja secara penuh dalam waktu yang cukup lama.” Jadi, penyokong kapitalisme yang paling alot sendiri pun selalu melihat adanya masalah dalam sistem ekonomi tersebut.
Ekonom Hernando De Soto, penulis buku yang cukup masyhur ”Mengapa Kapitalisme Berjaya di Barat dan Gagal di Mana-mana” pernah menyarankan begini: Kalau kita ingin memperbaiki perekonomian, yang harus dilakukan adalah menutup buku (textbook ekonomi) dan membuka akal sehat kita.
Jadi, mari kita buka akal sehat dan mulai percaya pada diri sendiri. Mari merevolusi mental kita dalam urusan ekonomi.
Jika akal sehat kita bekerja, pasti kita bertanya-tanya mengapa urusan-urusan ’sepele’ seperti keharusan ASN menggunakan peci dan sarung pada hari santri mesti diatur negara atau pemerintah, tetapi persoalan ekonomi—persoalan yang menyangkut nasib orang banyak—harus diserahkan kepada persaingan pasar? Siapakah ”pasar” itu yang sedemikian berkuasanya, sehingga kita harus tunduk kepadanya?
Mari camkan amanat Bung Hatta agar kita menghapus selekas-lekasnya sifat rendah diri dan menganggap bangsa lain lebih hebat dalam masalah ekonomi. Meski perasaan inferior atau rendah diri itu adalah wajar, menurut Alfred Adler peletak dasar teori inferiority complex, namun ia akan menjadi gangguan jika sudah menjadi ”complex”: menguasai diri seseorang secara terus menerus, sambil memengaruhi pikiran sadar maupun tidak sadarnya. Jika tidak disembuhkan, lama-lama gangguan rendah diri itu akan menjadi penyakit kejiwaan yang amat serius: neurosis.
Waspada, Ilmu Genomik Bisa Ancam Indonesia
/0 Comments/in Article /by admin
Oleh: Wahdat Kurdi/GNKRI
Sebelum membaca lebih jauh, perlu disampaikan di awal bahwa tulisan ini sama sekali tidak anti-Ilmu Genomik. Ilmu Genomik—ilmu yang mempelajari genom atau penentu sifat—sangat berguna bagi manusia. Bahkan di masa depan, para ahli memperkirakan banyak hal dalam keseharian kita akan dipengaruhi oleh cabang dari ilmu Biologi ini.
Lantas, apa yang harus diwaspadai dari Ilmu Genomik? Dalam hal apa Indonesia diancam olehnya?
Sebetulnya tidak ada mudharat apa pun dari Ilmu Genomik terhadap Indonesia. Namun hal ini berubah, setidaknya dalam pandangan penulis, sejak majalah sejarah online Historia memuat hasil tes DNA terhadap Najwa Shihab dan tujuh orang terkenal lainnya.
“Siapapun yang melihat Nana pasti akan berpikir ia berasal dari keturunan Arab murni,” tulis Historia. “Secara fisik Nana memang terlihat seperti kebanyakan orang-orang dari wilayah jazirah Arab, terutama bentuk wajahnya. Namun, apakah betul demikian? Historia mencoba menjawabnya,” tambah majalah tersebut di bagian awal artikel “Pernah Diolok Onta, Gen Arab Najwa Hanya 3,4 Persen.”
Bersama Ariel Noah, Budiman Sujatmiko, Hasto Kristiyanto, Riri Riza, Mira Lesmana, Grace Natalie dan Ayu Utami, Nana—panggilan Najwa Shihab—terdaftar sebagai relawan dalam Proyek DNA Historia. Proyek untuk mengetahui asal moyang dari delapan tokoh publik itu dilakukan dengan menguji komposisi DNA di dalam tubuh mereka menggunakan sampel air liur.
“Hasilnya sangat mengejutkan,” lanjut Historia, “Karena ada sepuluh fragments (bagian/potongan) DNA yang berasal dari sepuluh moyang berbeda dalam tubuhnya. Paling banyak dan kompleks dibandingkan relawan lainnya,” tambah majalah itu. Dan darah Arab dalam tubuh Nana hanya 3,8 persen saja, jauh di bawah gen Asia Selatan yang mencapai 48 persen.
Tidak sebanyak Nana, hasil uji DNA tujuh orang lainnya umumnya hanya memiliki empat fragmen DNA. Sebagian didominasi oleh gen Asia Selatan dan sebagian lagi Asia Timur.
“Nana menyadari keberagaman suku di Indonesia merupakan sebuah nilai yang sangat besar,” pungkas Historia menutup artikel. Menurut Nana, sangat menarik bisa menggambarkan kekayaan Bhineka Tunggal Ika itu lewat tes DNA.
Tentu saja Proyek DNA Historia itu punya maksud baik: meyakinkan masyarakat bahwa keragaman adalah “takdir” Indonesia sejak dulu. Tes DNA hanya sekadar alat untuk mempertebal keyakinan itu.
Yang menjadi persoalan, dan ini belum banyak diketahui orang awam, kemampuan Ilmu Genomik tidak hanya sebatas menunjukkan keragaman leluhur.
Studi genetik baru-baru ini membuktikan bahwa genom manusia tidak hanya memengaruhi sifat-sifat sederhana seperti warna kulit, tetapi juga sifat-sifat yang lebih kompleks seperti ukuran tubuh dan kerentanan terhadap penyakit. Sebagai contoh, karena perbedaan genom-lah rata-rata orang Eropa Utara lebih tinggi daripada orang Eropa Selatan. Karena pengaruh genom yang berbeda pula penyakit multiple sclerosis lebih umum menjangkiti ras Euro-Amerika daripada Afro-Amerika.
Pertanyaannya, gen Asia Timur yang mendominasi Grace Natalie dan Ayu Utami, atau gen Asia Selatan yang dominan dalam Ariel Noah dan Budiman Sujatmiko berpengaruh kepada sifat apa? Apakah gen tersebut menimbulkan sifat unggul, misal kecerdasan, atau sebaliknya menghasilkan kekurangan, misal lebih rentan terhadap suatu penyakit?
Percayalah, Ilmu Genomik suatu saat—mungkin dalam hitungan tahun atau puluh tahun—sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Bayangkan ketika Ilmu Genomik dimanfaatkan oleh politisi busuk. Bukan untuk menyadarkan masyarakat bahwa keragaman merupakan anugerah. Justeru mengeksploitasi kelemahan yang melekat pada orang dengan genom tertentu, atau sebaliknya memvaluasi kelebihan yang melekat pada genom yang lain.
Tanpa dukungan ilmiah saja, sebagian kita mudah sekali merendahkan sebagian yang lain karena perbedaan agama, suku atau asal keturunan.
Ingat penganut zionisme sejak dulu sudah menganggap bangsa Yahudi lebih superior dibandingkan bangsa lain. Hitler berkeyakinan orang Yahudi begitu hina hingga perlu dimusnahkan. Tanpa Ilmu Genomik sedikit pun, paham-paham ekstrim nan destruktif semacam ini mudah mendapat tempat.
Bagaimana jadinya dengan bantuan perkembangan amat pesat Ilmu Genomik saat ini?
Manfaat Ilmu Genomik, di tangan orang yang tepat dengan isi kepala yang tepat, akan luar biasa bagi peradaban dan kelangsungan hidup manusia. Tapi untuk politik Indonesia, khususnya politik di era sekarang ini, penulis berkeyakinan manfaatnya jauh lebih kecil dibandingkan bahaya latennya.
Tidak perlu tes DNA untuk menyadari bahwa sejak lahir dalam diri kita sudah ada satu kromosom yang membuat perbedaan: laki-laki dan perempuan.
Yang kita perlukan adalah bagaimana meyakinkan orang bahwa berbeda jenis kelamin tidak berarti berbeda superioritas, menjadi laki-laki tidak berarti lebih utama dibandingkan menjadi wanita.
Tidak perlu mubazir waktu dan finansial sekadar untuk meyakinkan bahwa kita, bangsa Indonesia saat ini, berbeda-beda dan berasal dari leluhur yang juga berbeda-beda.
Yang perlu dicari solusinya adalah bagaimana mengobati penyakit orang Indonesia yang gampang membesar-besarkan perbedaan.
Dan solusi itu jauh dari Ilmu Genomik.