Demokrasi dan Mutasi Energi Negatif ke Positif
Penulis: Muhammad Afthon Lubbi
Ketua Bidang Sosial Keagamaan PP GNKRI 2017-2022
Alkisah, seorang petani miskin di suatu desa kecil kehilangan satu-satunya kuda jantan kesayangan. Ia sangat sedih karena kuda itulah yang ia gunakan setiap hari untuk membantu menggarap sawah miliknya. Dengan keadaan seperti itu banyak pekerjaannya petani miskin ini terhambat.
Iba dari para tetangga pun tumpah ruah atas musibah tersebut. Tapi tidak sedikit pula yang mencibir, bahkan ‘nyinyir’. Mereka menganggap petani tersebut mendapatkan kesialan. Alih-alih tidak menanggapi komentar negatif tersebut, Pak Tani tetap terus melanjutkan pekerjaannya menggarap sawah. Ia hanya berpikir: musibah ini mungkin saja sebuah kesialan atau juga bukan.
Selang beberapa hari, ternyata kuda kesayangannya kembali dari hutan dengan membawa kuda betina. Betapa bahagianya Pak Tani serasa mendapat durian runtuh. Selain mendapatkan kuda tambahan, ada kemungkinan pasangan kuda tersebut beranak pinak menjadi banyak.
Naasnya, beberapa bulan kemudian, petani miskin ini tertimpa musibah lagi. Anak laki-laki semata wayangnya jatuh dari kuda dan mengalami patah tulang kaki. Lagi-lagi, tetangganya berkomentar dengan sinis sekalipun ada pula beberapa tenggara yang iba atas musibah kedua kalinya tersebut.
Di tengah kemalangan yang menimpa Pak Tani, tersiar berita dari Kerajaan bahwa setiap rakyat yang memiliki anak laki-laki wajib mengirimkannya untuk ikut perang. Alangkah bersyukurnya Pak Tani. Ia tidak berpisah dengan anak kesayangannya karena tidak wajib mengirimkan putranya karena tengah menderita sakit patah tulang kaki.
Para tetangga mulai berubah pandangan. Bahwa di setiap musibah yang menimpa Pak Tani, selalu ada hikmah yang mengikuti. Sejak saat itu, penduduk desa tersebut membiasakan selalu bersabar dan bersyukur atas segala kemalangan yang menimpa.
Kira-kira begitulah kekuatan “positive thinking”. Tidak hanya membuat orang menjadi kuat dan sabar, tapi juga menghadirkan aneka kebaikan bagi dirinya dan orang di sekitarnya. Sebaliknya, “negative thinking” membuat orang selalu memandang buruk segala hal. Tidak hanya musibah, suatu kebaikan pun seringkali dilihat sisi negatifnya.
“Saya kesel deh sama bawahan saya, kerjanya selalu lamban”.
“Wuhh, Hujan lagi. Ngeselin!!”.
“Guru, dosen, pimpinan ngasih PR mulu, bete!!”.
Demikian itu contoh kalimat manusia menghadapi realita sehari-hari dengan sikap negatif. Sebenarnya, dalam realita yang sama—meminjam kacamata peristiwa ‘Pak Tani’ di atas—kita bisa mengubah sikap dengan pandangan positif.
“Alhamdulillah, bawahan saya kerjanya tekun, jadi membutuhkan waktu yang lama”.
“Hujan lagi, bisa kumpul dengan keluarga di rumah”.
“Banyak PR dari guru, dosen, pimpinan, ayo belajar bareng sambil bikin rujak”.
Demikian itu mutasi sikap kea rah lebih positif. Dalam tahap tertentu, pandangan negatif sehari-hari akan membawa kepada gangguan psikologis. Bahkan dalam level yang lebih tinggi, sikap negatif bisa menghadirkan kebencian terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan hasrat dan harapan.
“Ekonomi sulit, korupsi semakin merajalela, kejahatan dimana-mana, Indonesia akan hancur! Ganti Presiden! Ganti Demokrasi!”
“Musibah dimana-mana. Salah masa lalu SBY! Salah masa kini Jokowi!”.
Kalimat-kalimat demikian biasanya disampaikan dengan emosi negatif tanpa kemampuan analisa yang baik. Sebenarnya kalimat-kalimat di atas bisa diubah dengan kalimat positif.
“Ekonomi sulit, korupsi semakin merajalela, kejahatan dimana-mana, presiden dan mantan presiden mesti bahu membahu dan harus lebih bekerja keras!
“Demokrasi mesti dikawal untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat!”.
“Musibah dimana-mana, mari bersinergi dan bekerjasama membangun Bangsa!”.
Kalimat negatif yang dinyatakan berulang kali tidak hanya akan membentuk pribadi yang negatif tapi juga rentan menyerang syaraf otak untuk berpikir. Dalam psikologi disebut “Neuro-Linguistic”. Maka untuk menyembuhkan gangguan psikologis ini, para ahli psikologi membuat obat penawar apa yang disebut dengan “reframing”.
Reframing ini salah satu tools Neuro-Linguistic Programming (NLP) yang digunakan untuk mengubah emosi negatif menjadi positif dengan mengubah sudut pandang. Seperti cara pandang “Pak Tani” di atas contoh mengubah realitas dan persepsi dari negatif ke positif. Bila framing selalu negatif, apa jadinya mental dan karekter anak bangsa ke depan: mengalami sakit syaraf otak secara massal.
Kebebasan berdemokrasi sekarang penting sekali untuk kembali pada konsepsi Demokrasi Konstitusional yang telah Indonesia anut dalam amandemen UUD 1945, tetap berlandas pada Ketuhanan. Bung Karno menyatakan: demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi ala Barat, tapi “Demokrasi Berketuhanan”.
Semua agama di Indonesia menyerukan pada kebaikan, proses maupun hasil. Dan mengubah cara pandang negatif ke positif adalah sebuah proses yang sangat menentukan hasilnya. Demokrasi Konstitusional yang dianut sekarang anut memang mengkhawatirkan bila ditatap dengan tatapan negatif dan jangka pendek, terlampau liberal dan konservatif. Dua-duanya sama-sama ekstrim.
Tapi jangan salah: dengan sumber daya bangsa yang besar ini Demokrasi Konstitusional negeri ini punya banyak alasan untuk ditatap secara positif di jangka menengah-panjang [] #GNKRI
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!