Indonesia Kaya Bahan Baku Senjata Biologi
Penulis: Alfi Rahmadi
Wakil Sekretaris Jenderal PP GNKRI
#GNKRI—Sebagai negeri tropis dengan limpahan sinar matahari paling konstans akibat keunggulan posisi astronomis beserta unikum keunggulan yang menyertainya, negeri ini begitu kaya dengan mikroba; serasa menjadi rumah segala bakteri, bahan baku senjata biologi.
Berada di garis Khatulistiwa paling tengah di dunia yang membelah dunia menjadi Utara-Selatan, keunggulan posisi astronomis itu melebur ke dalam unikum kekhasan geografis, topografis dan orografi, oceanografi, geofisika, struktur kepulauan dan orientasi pulau serta aneka faktor lingkungan di sekitar Indonesia.
Senjata biologi yang menggunakan bahan baku bakteri, virus, dan berbagai mikro-organisme penyakit itu menemukan “rumah” di Indonesia karena kelengkapan itu. Dari kontur geografis dan topografisnya saja, Indonesia paket lengkap dari segala kontur. Baik pesisir laut dan sungai; pegunungan lembah dan hutan; maupun daratan rendah dan tinggi.
Mikro-organisme penyakit pun melebur ke dalam kekayaan keanekaragaman hayati dan nirhayati Indonesia: flora, fauna maupun jasad renik di kontur daratan dan lautan itu. Faktor-faktor pertumbuhan patogen seperti tingkat suhu, tingkat keasaman (pH), nutrient dan oksigen pada umumnya memiliki daya tahan dalam kelengkapan kontur geografis demikian, khususnya pada wilayah ekstrim.
Daya tahan mikroba dalam jangka waktu lama itupun seolah-olah dijamin secara alami oleh keunggulan ruang udara Indonesia yang membentuk sistem keseimbangan cuaca dengan paket skala yang lengkap: dari skala terkecil sampai skala besar.
Iklim tropis Indonesia yang membentuk cuaca panas dan hujan sepanjang tahun secara merata menjadi siklus penyeimbang cuaca ekstrim. Situasi alamiah ini dapat menekan resiko radiasi matahari yang menjadi biang alami kadaluarsa senjata biologi.
Itulah kenapa—seperti paket hemat—interaksi sistem udara dengan daratan dan lautan di Indonesia bukan hanya menjadi pelontar intensif mikro-organisme tetapi juga antibiotiknya. Penyakit-penyakit seperti flu, demam berdarah, malaria di Indonesia seperti tak mengenal lagi musim dan iklim. Dapat dicontohkan pada virus antraks.
Baru-baru ini terbit sebuah analisa berjudul “Strategic Context Indonesia dalam Mengantispasi Ancaman Senjata Biologis Antraks”, terbitan Jurnal Pertahanan Volume III No.1 Tahun 2017 Universitas Pertahanan (Unhan) RI.
Indonesia, dalam analisa jurnal ini, potensial sekali mengembangkan senjata biologi dari virus antraks sekaligus sistem cegah tangkalnya (strategi context). Pertimbangan utamanya: Indonesia banyak terjadi penyakit bersifat zoonosis.
Zoonosis adalah wabah menular mikro-organisme yang ganas berasal dari hewan. Skala penularannya bukan saja dari hewan ke manusia atau sebaliknya, tapi bisa jadi human to human, yang sangat ditakutkan oleh sebuah negeri.
Analisa dalam Jurnal Pertahanan Unhan itu sengaja memilih agen biologis antraks berkaitan dengan potensi pengembangan senjata biologis di Indonesia. Pasalnya, antraks ini bukan saja mudah ditemukan di daerah Indonesia, tetapi juga sulit dimusnahkan, khususnya di daerah endemiknya.
Pada umumnya, antraks punya daya tahan di lingkungan ekstrim sekalipun. Lagi pula, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus Anthracis itu memiliki daya rusak yang tinggi terhadap hewan-hewan ternak dan manusia sekitarnya.
Bakteri ini juga memiliki daya penghancur bersifat massif dan memiliki efek dalam waktu lama. Sebab kuman yang dikandungnya mampu menghasilkan spora yang tahan panas di atas 70 derajat celcius. Bahkan tahan dari sinar ultra violet.
Bakteri ganas satu ini pun mampu bertahan hidup di dalam air selama dua tahun, bertahan di dalam susu selama 10 tahun. Bahkan mampu bertahan hidup di benang wool selama 70 tahun lamanya. Sangar sekali.
Kekayaan mikroba dan kualitasnya tersebut tentu membuar ngiler negara-negara maju. Tentu masih segar dalam ingatan kasus flu burung dan Naval Medical Research Unit No. 2 atau Namru II, kan? Menteri Kesehatan RI 2004-2009 Siti Fadhilah Supari yang membongkar konspirasi AS dalam dua kasus itu.
Inti kasus itu adalah kewajiban Indonesia dan 109 negara lainnya untuk mengirim sampel virus penyakit-penyakit ke WHO CC tanpa mampu menolak dan tanpa banyak pertanyaan. Untuk satu kasus penyakit saja, flu dan turunannya, kewajiban itu terikat dengan peraturan rezim bernama Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO Collaborating Centres (CC). Dalihnya adalah penelitian biomedis untuk kesehatan global, dan ini sudah berlangsung selama 50 tahun.
Khusus negara-negara di Asia, sampel itu juga di tampung di labotarium Namru II di Jakarta. Tentu saja mengherankan kalau menarik garis hubungan kesehatan dengan dunia militer: mengapa harus ditampung di labotarium Angkatan Laut AS.
Indonesia rutin mengirim sampel-sampel penyakit tropis ke Namru II dan WHO CC. Seperti flu, flu burung, malaria, demam berdarah, diare dan sebagainya. Tapi naasnya, hasil-hasil penelitian tak kunjung dapat diakses oleh Indonesia beserta negara-negara pengirim sampel.
Begitu Menkes Siti Fadilah Supari menggugatnya, Indonesia diserang fitnah keji. Tahun 2006, saat wabah flu burung menerjang Tanah Karo, Sumatera Utara, WHO CC mempropagandakan telah terjadi penularan human to human flu burung di Indonesia. Propaganda itu mengeksploitasi peristiwa meninggalnya satu keluarga dalam waktu hampir bersamaan di Tanah Karo.
Namun hal itu dibantah oleh Menkes Siti Fadhilah Supari setelah diperkuat oleh hasil uji coba labotarium Eijkman. Saat labotarium ini menguji coba untuk membuktikan tuduhan WHO CC sedang berlangsung, logika sederhana yang digunakan bu Siti adalah wabah flu burung di Tanah Karo tidak menular ke petugas medis yang menanganinya. Kalau menular human to human, praktis sejumlah negara mengeluarkan travel warning ke Indonesia. Tapi itu tidak terjadi.
Kedok penelitian misi kesehatan global terbongkar manakala virus flu burung atau H5N1 ternyata juga terdapat di labotarium nuklir Los Alamos di AS. Dugaan sampel virus dikembangkan menjadi senjata pemusnah massal menemukan premisnya. Sebab labotarium inilah produsen bom atom yang meluluh lantak Nagasaki dan Hirosima pada Perang Dunia II.
Yang lebih naas lagi: sampel virus itu diproduksi secara massal oleh negara-negara maju berupa vaksin dan dijual lagi kepada negara-negara penderita atau negara pengirim sampel dengan harga selangit. Namun setelah kedok ini terbongkar, bukan perkara mudah untuk mengusir Namru II dari bumi Indonesia.
Upaya mengusirnya sudah berlangsung lama. Saat masih menjabat Panglima TNI merangkap Menteri Pertahanan RI 1998, Jenderal TNI Wiranto telah merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan kerjasama Departemen Kesehatan RI dan Namru II yang telah berlangsung sejak 1970 itu. Wiranto menilai kerjasama ini tidak menguntungkan pertahanan dan keamanan RI.
Desakan serupa pernah disuarakan setahun kemudian oleh Menteri Luar Negeri RI, Ali Alatas. Kepada Presiden BJ. Habibie, diplomat mahasenior ini mengatakan dalam suratnya, kerjasama tersebut sangat membebani Indonesia. Bebannya karena terikat dengan Konvensi Senjata Biologi yang melarang produksi dan penimbunan senjata biologi. Bisa-bisa Indonesia dituduh menimbun sekalipun AS yang memproduksinya.
Barulah 11 tahun kemudian kerjasama timpang itu secara resmi akhirnya berakhir pada 16 Oktober 2009, di masa akhir Siti Fadhilah Supari menjabat Menkes. Kebijakan kesehatan dan militer AS saat itu sedang tersorot dari kasus flu burung yang dibongkar oleh Bu Siti, ahli penyakit jantung ini.
Awal Namru II digugat bu Siti sebenarnya tergolong sederhana. Sebagai orang nomor satu di sektor kesehatan RI, ia tidak bisa masuk ke labotarium kesehatan milik Angkatan Laut AS yang bermarkas di Jalan Percetakan Negara, Jakarta itu.
Di antara hikmah kasus flu burung dan Namru II adalah pengembangan potensi mikroba dan patogen secara serius dan mandiri, antara lain oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak 2011. Tetapi pemanfaatannya bukan untuk senjata pemusnah massal, melainkan untuk tujuan-tujuan kesejahteraan seperti pengurangan laju deforestasi dan pengembangan kekayaan hayati negeri.
Berawal dari pemutakhiran buku “Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP)” yang memuat target perlindungan ekosistem Indonesia sampai 2020, kerjasama LIPI dengan Kebun Raya Bogor berjalan intensif.
Itulah kebun botani tertua di Asia sekaligus salahsatu kolektor spesies botani terlengkap di dunia. Di dalamnya juga terdapat museum zoologi, terbesar ketiga di dunia dengan sekitar dua juta spesies hewani di dalamnya. LIPI punya target: mendirikan pusat pengembang-biak mikroba yang menyimpan aneka potensi bakteri dalam negeri.
Ke depan, dengan bahan baku mikroorganisme yang berlimpah berikut dengan kualitasnya, tentu saja Indonesia sangat memungkinkan mengembangkan senjata biologi untuk menutup defisit alat utama sistem persenjataan (Alutsista).
Sederhana untuk mengukur kemampuan teknologi memproduksi senjata pembunuh massal satu ini. Seragam militer anti-bahan kimia, biologi, radiasi dan nuklir atau CBRN (chemical, biological, radiation, nuclear) yang digunakan militer Jerman merupakan hasil produksi perusahaan tekstile militer terkemuka asal Indonesia: PT.Sri Rejeki Isman (Sritex). Militer Malaysia juga memesan seragam anti-CBRN itu dari Sritex. Bila mampu produksi di hilirnya, di hulunya pasti lebih mampu lagi.
Tapi kita sadar tidak mudah mengembangkan agen-agen biologi menjadi senjata karena terbelenggu dengan Konvensi Senjata Biologi yang berlaku efektif sejak 1975. Tapi faktanya, Amerika, Rusia, Jepang dan Isreal bisa. Demi melancarkan operasi rahasia senjata biologi ini, tentu saja kamuflase riset biomedis untuk tujuan kesejahtraan dan tujuan kesehatan global digunakan.
Tidak ada jaminan agen biologi itu dibelok-kan menjadi senjata dan digunakan dalam operasi-operasi militer. Sebab protokol verifikasi kontrol penggunaan agen-agen biologi beserta pembentukan rezim verifikasi internasional dalam Konvensi Senjata Biologi belum mencapai titik temu. AS bukan saja masih getol tetapi juga menjadi motor penolakan protokol itu sampai sekarang. [] #BiologiGNKRI
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!