ISIS, Sunni-Syiah, Palestina: ‘Pasar Tetap’ Seteru Abadi Amerika Vs Rusia

Penulis:
Alfi Rahmadi
Wakil Sekretaris Jenderal PP GNKRI

Gestur geopolitik dunia dalam peperangan ISIS beserta turunan konflik berdarahnya pada lokus Sunni versus Syiah di Irak, Suriah dan Yaman, tetap saja dibayang-bayangi perang dingin Barat versus Timur, antara AS dan Uni Soviet (Rusia).

Polanya mirip era 1980-an ketika AS menyokong Mujahidin Afghanistan untuk melawan rezim komunis Uni Soviet. Tetapi di abad milenium, di musim badai stigma terorisme global, pola tersebut telah bermutasi menjadi pasar paling menggiurkan berupa ekspor persenjataan. Ekspor alutsista untuk mendongkrak kembali perekonomian dua adidaya itu yang sama-sama tengah rontok.

Krisis keuangan AS yang memuncak pada 2008 belum sepenuhnya pulih. Sampai akhir 2017, AS terus berjuang agar ekonomi negerinya tidak terlalu terendam akibat kenaikan suku bunga The Fed yang kerap berdampak terhadap keuangan global itu. Upaya tersebut sebangun dengan negara-negara Eropa yang tergencet akibat konstalasi rezim keuangan dan moneter global. Termasuk menguatnya duo Y: Yen dan Yuan.

Bagi AS dan kawanan sekutunya, menyokong Washington ekspor persenjataan memang seolah-olah menjadi keharusan. Maklum, sokongan tersebut bakal memetik keuntungan ganda. Selain dapat menekan pengeluaran domestik dari misi perdamaian di Timur-Tengah, mereka juga dapat berbagi kapling dengan AS dalam mengendali ladang minyak di kawasan panas tersebut.

Pengendalian emas hitam itu juga menjadi pijakan Eropa di tengah pusingnya otoritas pemerintah masing-masing mengembalikan utang-utang sebagaimana krisis keuangan Yunani.

Rusia juga demikian. Fluktuasi perekonominya serba tak pasti. Bahkan lebih sering sempoyongan akibat fluktuasi harga minyak dunia. Maklum, 60 persen devisa Rusia ditopang oleh sektor migas. Wajah perekonomian Rusia kian pucat akibat sanksi Barat terhadap Moskow yang menyokong krisis di Ukraina.

Itulah yang sempat membuat Vladimir Putin kalang kabut. Pada Juli 2015 misalnya, Putin terpaksa memangkas besar-besaran jumlah pejabat di pemerintahannya dalam sebuah dekrit yang ia tandatangani. Demi efisiensi, Putin juga terpaksa memecat sekitar 110 ribu pejabat. Departemen Luar Negeri merupakan sektor terbanyak menelan korban. Dari total 1 juta pegawai, 10 persen harus dipangkas.

Uniknya, agenda menekan pengeluaran besar-besaran itu tidak berlaku untuk Departemen Pertahanan. Ini sinyal kuat bahwa Rusia tetap menjaga kinerja ekspor persenjataan, bahkan harus dipacu sekuat tenaga. Terlebih lagi pengaruh militernya di Ukraina harus tetap terjaga hingga menuntut lebih banyak pemasukan walau tengah dibantai krisis ekonomi.

Menyokong rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad, Hizbullah di Lebanon dan rezim Iran juga serasa harus diawetkan Rusia demi menggerakan roda ekonomi sekaligus menjaga pengaruh politiknya. Vladimir Putin tak ambil pusing sekencang apapun Israel protes dan merengek kepada AS untuk membendung jurus mabok Moskow.

Tahun 2016, Moskow mengantong US$ 10 miliar atau Rp 135 triliun, hasil transaksi alutsista yang dibeli Taheran. Seperti artileri, helikopter, tank T-90 dan jet tempur. Iran yang dikenal mandiri memproduksi alutsista pasca embargo era 1990-an, bukan tak sanggup produksi.

Misil Talaash-3, Ghader, Nasr dan Fakour yang mengancam Israel merupakan made in Iran. Tapi negeri Persia itu merasa belum cukup dalam upaya membendung rezim Sunni Arab Saudi sekaligus menekan arogansi Israel di Palestina melalui suplai senjata ke kelompok Hamas.

Untuk Suriah, sepanjang 2007-2011 Moskow memasok 72 persen senjata. Termasuk sistem rudal antikapal dan pertahanan udara seperti pesawat tempur MIG-29. Akhir 2011 rezim Presiden Bashar al-Assad membeli 36 pesawat tempur Yak-130 dari Rusia senilai 550 US$ juta.

Kontan saja peningkatan volume beli persenjataan ini meningkatkan ambang batas intervensi militer blok Barat seperti operasi NATO sebagaimana yang pernah dialami rezim Muammar Qaddafi di Libya.

Sejauh ini gelar kekuatan Hizbullah di Lebanon juga sudah dilengkapi teknologi modern anti-udara dari Moskow. Hizbullah mampu mendeteksi jet-jet tempur Israel melalui sistem radar nan canggih itu sekaligus mampu membidik target: kota mana saja di Israel yang hendak dirudal bila Palestina kembali membara.

Demikian itulah cara AS dan Rusia “menengahi” krisis politik Timur Tengah abad milenium, melalui ekspor persenjataan dan teknologi ruang udara.

Dalam laporan “The Year Book 2015” terbitan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), dirilis Indonesian Review (05/04/2015), impor persenjataan ke negara-negara Teluk periode 2009-2013 meningkat 23 persen dibanding periode 2004-2008.

AS dan Rusia adalah eksportir persenjataan terbesar pertama dan kedua di dunia. Periode 2009-2013, AS memasok 29 persen senjata di dunia. Rusia menyumbang 27 persen. Jadi dua adidaya itu menguasai 56 persen volume ekspor senjata di dunia. Kemudian diikuti Jerman (7 persen), Cina (6 persen) dan Prancis (5 persen).

Periode 2010-2014, ekspor senjata AS ke pasar global mencapai 31 persen, meningkat 2 persen dibanding periode sebelumnya. Sedangkan pasar ekspor senjata Rusia pada periode yang sama meroket dari 22 persen menjadi 37 persen. Periode sebelumnya, 2009-2013, Rusia menjadi eksportir utama senjata untuk 52 negara.

Dalam rentang dua periode tersebut, suplai senjata terbesar kedua produsen alutsista di dunia adalah pasar Timur Tengah. Laporan SIPRI ini berbanding lurus dengan pembelian senjata oleh negara-negara Teluk yang tergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk atau Gulf Cooperation Council (GCC).

GCC ini dikuasai oleh kubu Sunni. Anggotanya: Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Oman. Impor senjata negara-negara anggota GCC ini mencapai 71 persen sepanjang periode 2005-2009 dan 2010-2014. Atau mengalami kenaikan 54 persen dari total impor senjata di kawasan Timur Tengah.

Pembelian senjata secara besar-besaran itu dipicu oleh keterlibatan mereka sebagai penyokong Kelompok Kontra ISIS dan anti-Syiah di Irak, Libya dan Suriah. Bukan rahasia umum lagi, banyak senjata yang dipakai sipil-militer Kontra ISIS dan Anti-Syiah itu berasal dari negara-negara anggota GCC, khususnya dari Arab Saudi.

Kenyataan tersebut juga berbanding lurus dengan reputasi Arab Saudi sebagai negara paling haus yang memborong senjata buatan AS. Periode 2010-2014, Arab Saudi memecah rekor sebagai importir senjata terbesar di dunia. Sampai 2014 nilainya mencapai US$ 6,4 miliar atau naik empat kali lipat dibanding periode 2005-2009.

Arab Saudi menggeser posisi India sebagai importir senjata terbesar di dunia yang mencapai US$ 5,57 miliar. Dalam catatan SIPRI, periode 2012-2016, volume impor senjata Arab Saudi bahkan meningkat menjadi 212 persen. Pasokan terbesar dari AS dan Inggris.

Di negara-negara Teluk itu, AS menjadi eksportir terbesar, menyumbang 45 persen. Dan untuk pertama kalinya di tahun 2013 AS mengizinkan jual-beli rudal jelajah jarak jauh ke negara-negara minyak di kawasan Timur Tengah tersebut.

Beberapa kawanan negara Teluk juga berinvestasi pada teknologi sistem serangan jarak jauh serta pertahanan udara dan rudal yang dipandu AS dan Inggris. SIPRI juga mencatat: periode 2010-2014 pemesanan dan pengiriman negara-negara Teluk untuk sistem pertahanan rudal balistik meningkat signifikan.

Arab Saudi, apapun retorika politiknya mengenai hubungan penting dengan AS di abad milenium, AS menjadi sekutu utama karena satu hal ini: AS telah berkontribusi besar menyeimbangkan posisi strategis Arab Sunni atas Syiah melalui invansi militer AS meluluh lantak rezim Partai Ba’ath dan Saddam Hussein di Irak sejak 2003.

Tetapi bagi Arab Saudi, mengandalkan AS dan Inggris saja tak cukup untuk membendung Syiah Iran dan belakangan Qatar yang kian melunturkan pengaruh Arab Saudi di Timur Tengah. Memproteksi Hizbullah di Lebanon agar tak meluas juga bukan pengecualian. Mereka perlu improvisasi.

Maka, medio Desember 2017 atau kurang lebih sepekan lebih setelah Presiden AS Donald Trump menggeser kantor Kedutaan Besar di Israel dari Tel Aviv ke Yarussalem, Arab Saudi melalui Menteri Luar Negeri, Abdel al-Jubeir, mengakui Kerajaan Arab Saudi ingin memulihkan hubungan dengan Israel.

Rencana tersebut merupakan bagian dari program “Inisiatif Perdamaian Arab”. Road map-nya didesain sejak 2002. Meski tujuannya untuk menuntaskan krisis Palestina dengan inisiatif menetapkan kembali pengukuhan perbatasan wilayah pra 1967, tapi tetap nampak Riyadh meminjam “Yarussalem Road Map” sebagai alat negosiasi dengan Israel untuk memukul Taheran dan kekuatan Arab Syiah atau Partai Ba’ath dengan berbagai bentuknya di jazirah Arab.

Untuk menghadapi Arab Saudi dan negara-negara Teluk GCC itu pula Taheran butuh suplai senjata dari Rusia. Impor terbesar persenjataan dari Rusia periode 2010-2014 memang dari Iran dan Suriah di bawah rezim sosialis Ba’ath pimpinan Presiden Bashar al-Assad.

Dari dua negara inilah senjata buatan Rusia mengalir ke kelompok Ba’ath di Irak yang kini berjubah ISIS. Termasuk memasok ke Syiah Houthi dalam konflik Yaman.Kubu Ba’ath punya dendam kesumat terhadap AS karena telah meluluh lantak kekuasaan rezim Ba’ath dan Saddam Husain.

Saat Partai Ba’ath berkuasa di Irak dan Suriah sebelum Saddam Husain tumbang, mereka menjadi sekutu terhangat Rusia di Timur Tengah. Perekatnya: ideologi sosialis Ba’ath yang lebih terbuka dengan aliran komunis Moskow. Termasuk melalui koalisi Rusia-China sesama haluan komunisme.

Ke depan, bagi AS dan Rusia, seolah-olah keduanya sangat berharap agar Irak, Suriah dan Yaman lebih banyak saling membantai. Kalau perlu gejolak Mesir dan Arab Spring lainnya senantiasa terawat demi periuk nasi Blok Timur-Barat era kekinian.

Sudah pasti untuk merawat semua itu, bara konflik Sunni-Syiah yang saling memendam dendam kesumat sejak era awal rezim Dinasti Umayyah sampai sekarang berhembus terus-menerus. Karena sedemikian kuatnya sejarah konflik tersebut, seakan-akan Sunni-Syiah menjadi bahan bakar utamanya.
Memang ada saatnya gejolak berdarah itu turun-naik.

Pertempuran ISIS pasti ada masanya sebagaimana pergantian jubah Al Qaeda. Konflik Sunni-Syiah juga turun-naik ketika para Imam Besar keduanya turun gunung meredakan.

Tapi tidak demikian dengan seteru abadi Israel vs Palestina dalam klaim satu kota tiga agama. Konflik berdarah ini tak ubahnya penjamin pasar tetap (captive market) memasok senjata kedua negeri adidaya itu.

Maka sangat wajar bila Palestina di penghujung tahun 2017 ini kembali bergejolak ulah Presiden Donald Trump, dua adidaya itu berdiri di posisi sama-sama tegas. AS menyokong Israel, anak emasnya. Rusia menyokong Palestina. [] #GNKRI

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply