Jalan Panjang Mengisi Kemerdekaan

Oleh: Sholehudin A. Aziz
Ketua Bidang Kebudayaan Nasional GNKRI 2017-2022

Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang jatuh setiap tanggal 17 Agustus saban tahun kita peringati. Sebab itulah klimaks perjuangan bangsa ini setelah tiga abad lebih hidup dalam penjajahan.

Saban tahun kita rayakan secara gembira dan suka cita dalam pelbagai kegiatan seantero pelosok negeri. Lebih bergelora lagi kita melakukan upacara pengibaran bendera sangsaka merah putih dengan menyanyikan lagu berjudul “Hari Merdeka” gubahan H. Mutahar.

Maka yang hadir dalam sanubari adalah rasa bangga dan semangat berkobar-kobar dalam mensyukuri kemerdekaan itu. Lagu tersebut benar-benar menjadi inspirator seluruh anak bangsa Indonesia lintas usia, ras, suku, ataupun agama.

Sayangnya, ditelisik lebih mendalam: ada esensi yang hilang dari semangat rakyat yang menyanyikan lagu tersebut. Bagian yang hilang itu adalah memaknai kemerdekaan itu sendiri. Ibarat kain sulam, bila memaknainya saja sebagai tahap hulu dalam proses sulam sudah salah, maka bagaimana mungkin mengisi kemerdekaan sebagai hilirnya berjalan cepat dan akurat.

Faktanya, sampai periode 2015-2019, anak bangsa terbelah dalam dua kutub yang sangat tajam berupa polarisasi politik identitas. Bangsa ini surplus diskursus kebangsaan karena sama-sama mengklaim memiliki saham dalam proses Kemerdekaan RI. Sementara diskursus keadilan sosial yang semestinya berjalan pararel dengan diskursus kebangsaan itu tetap terlantar atau minus.

Yang berbahaya adalah bersembunyi di ketiak kebangsaan/kebhinnekaan sebagai kedok untuk menutup ulah kelompok oligarki politik dan ekonomi yang menyumbang besar terjadinya ketidakadilan sosia. Korupsi masuk dalam domain ini. Hukum pun tumpul saking tebalnya oligarkis tersebut.

Kemerdekaan secara harfiah bermakna kebebasan atau lepas dari ikatan dan kungkungan. Dalam Bahasa Inggris, kemerdekaan identik dengan kata liberty, freedom atau right. Freedom adalah terma mengenai kebebasan atau kemerdekaan. Liberty biasanya mengacu kepada kemerdekaan sosial dan politik.

Right lazimnya identik dengan berbagai garansi kemerdekaan hak-hak legal spesifik. Ketiga kata tersebut seringkali dipakai mengacu kepada kemampuan orang untuk berbuat tanpa pembatasan-pembatasan (the ability to act without restrictions).

Merdeka diartikan dengan pencapaian hak kendali penuh atas seluruh wilayah bagian negaranya atau saat di mana seseorang mendapatkan hak untuk mengendalikan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain dan atau tidak bergantung pada orang lain lagi.

Tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka dimaknai sebagai bebas dari penghambaan, penjajahan dan lain-lain, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat dan tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu.

Seluruh pemaknaan kata kemerdekaan mengacu secara penuh kepada kekebasan dan kekuatan untuk berdiri sendiri. Sama sekali tidak bergantung kepada siapapun dengan alasan dan dalih apapun. Di sinilah kemandirian sebagai manifestasi kemerdekaan terhujam kuat melandasi setiap derap langkah bangsa ini.

Melihat realitas bangsa dan rakyat saat ini, sulit rasanya mengklaim bahwa kita sudah merdeka secara seutuhnya. Secara de jure bangsa ini memang sudah merdeka, tetapi hanya dalam konteks terbebas dari penjajahan. Secara de facto, kemerdekaan yang hakiki itu, masih sangat jauh dari harapan.

Ketidakadilan distribusi aset sumber daya negeri diperparah oleh kekerasan atas nama klaim kebenaran sepihak. Proxy war dalam beragam bentuknya menelikung hakikat kemerdekaan. Teror, intimidasi, insinuasi, agitasi, provokasi, pengerahan massa dan aksi sejenis, cara halus maupun cara kasar.

Kemerdekaan yang kita miliki sebatas kemerdekaan artifisial, jauh dari kemerdekaan faktual. Padahal merdeka adalah bebas dan lepas dari segala macam bentuk penjajahan: fisik, pemikiran, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik.

Di bidang ekonomi misalnya kita masih terbelenggu oleh jeratan hutang luar negeri kita yang sangat tinggi. Kehadirannya bukan membawa solusi, karena kita tak punya sistem yang cukup tangguh dalam mengendalikan fiscal dan moneter. Terlebih dalam memompa daya saing perekonomian. Maka tepatlah pernyataan Tan Malaka bahwa ”Negara yang hidup meminjam pasti menjadi hamba peminjam” (7 November 1948).

Kini, kita juga adalah hamba peminjam yang serba terkekang oleh kepentingan negara donor. Tak ada lagi kekebasan. Jika Tan Malaka masih hidup, pasti ia menangis akibat ketidakberdayaan ini. Kita bisa ingat ucapan lantangnya pada pidato di rapat pertama Persatuan Perjuangan ke-1 di Purwokerto 1922. “Seharusnya kita tak akan berunding dengan maling di rumahnya,” ucap Tan Malaka.

Di bidang politik luar negeri pun bangsa kita loyo. Dalam percaturan politik dunia, Indonesia sebagai negara berkembang masih dianggap sebagai anak bawang, tidak terlalu signifikan. Kita belum mampu berdiri sama tegak duduk sama rendah. Belum lagi di bidang budaya, betapa banyak hasil karya cipta anak negeri ini masih diklaim dan bahkan dibajak negara lain.

Memang tidak menafikan aneka prestasi yang telah dicapai di berbagai bidang. Sayangnya, tidak cukup tangguh menularkan prestasi yang ada di bidang lain akibat kompleksitas permasalahan yang diringkas oleh minimnya keteladanan para pemimpin.

Padahal, tak kurang contoh tapak-tapak kearifan dan ketokohan pejuang bangsa. Keperkasaan Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Diponegoro, Panglima Sudirman, Bung Karno, Bung Hatta, dan bahkan Tan Malaka dalam melawan penjajahan.

Mereka benar-benar memiliki integritas dan api kejuangan tak pernah padam. Kebangsaan-Kerakyatan-Kejuangan yang menyala-nyala dalam jiwa mereka hadir dalam satu tarikan nafas. Benar mereka sudah tiada. Tapi itu hanya fisik atau jasad belaka. Pikiran dan nafas perjuangan mereka hidup abadi.

Dalam era kekinian, kita pun sebetulnya masih punya sederet pejuang kaum muda lintas profesi dan tokoh loyal dan berintegritas. Kejuangan mereka sebanyak dikerjakan, bukan sebanyak diucapkan. Mereka menebar inspirasi dengan karya nyata. Sayangnya, selain populasinya kecil, keberadaannya juga tidak terorganisir dalam gerakan terencana, sistematis, egaliter, militan. Karena memang bergerak nafsi-nafsi.

Meski demikian, mereka ini siap mengisi kekosongan meritokrasi itu (merit system) melalui pengorganisasian gerakan yang kuat, hanya berpihak pada Pancasilaisme dan Indonesiaisme, bukan pada orang perorang dan kelompok sisa-sisa polarisasi politik identitas itu. Maka, jalan menuju kemerdekaan hakiki sesungguhnya masih panjang. Apakah Anda bagian dari agen perubahan perwujudan NKRI Baru itu? []#GNKRIPusat

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply