Ketika Euphoria Digital Social Platform Menjangkiti Generasi Digital Immigrant

Penulis:
Kamilia Hamidah
Ketua Bidang Kominfo PP GNKRI

Saya ingin memakai istilah digital ‘social platform’ yang beberapa waktu lalu dikenalkan oleh bung Alfi Rahmadi sebagai upaya penggabungan antara media sosial (medsos) dan mobile sosial (mobsoc).

Catatan ini hanya sebuah kegelisahan sesaat pada fenomena euforia digital social platform yang juga menjangkiti generasi digital immigrant.

Jika sebuah informasi hoax itu diterima oleh generasi digital immigrant dengan bumbu diakhir tulisan ‘SEBARKAN’ atau ‘VIRALKAN’. Tidak jarang ibu jari lebih terhipnotis dengan kata-kata terakhir ketimbang menelisik lebih jauh substansi konten dari pesan yang didapat.

Saya yakin sedikit sekali yang mencoba mengurutkan darimana berita itu didapat, dari situs mana yang memunculkan pertama kali berita tersebut, kemudian menelusuri secara detil konten dari berita tersebut, jika berbentuk statement, siapa yang menyampaikan, dalam forum apa, dan sebagainya.

Rendahnya minat ingin tau secara mendetil ini menjadi penyakit akut di masyarakat kita sehingga mudahnya isu-isu tidak jelas menjadi viral. Ibaratnya informasi ada di gengaman, tetapi tidak dibarengi dengan rasa keingintahuan untuk mengkaji dengan menelusuri isu-isu terkait di situs lain.
Lantas, bagaimana dengan generasi digital immigrant?

Diakui atau tidak dalam masyarakat kita, pola relasi ‘patront client’ ini sangat berpengaruh dalam penyebaran informasi di jagad sosial platform. Sehingga hal ini berimbas pada penerimaan begitu saja semua informasi yang di-share. Baik itu informasi yang jelas (kredibel) maupun yang tidak jelas (hoax)- jika itu sumbernya didapat dari orang yang dituakan atau yang lebih senior, atau tokoh panutan. Terutama ini berlaku pada relasi mobile social (WA, Line, dll) yang masih mengedepankan relasi senior-junior, tua-muda.

Sementara itu pada umumnya ada keengganan dari generasi digital immigrant untuk mencoba belajar mengidentifikasi apakah informasi yang telah di-share cukup valid atau tidak, sehingga informasi yang sudah tersebar meski dikemudian hari diketahui ternyata hoax, tidak akan terklarifikasi.

Secara sosial, generasi digital immigrant ini rata-rata telah mempunyai tapak sosial, baik itu kumpulan kemasyarakatan, asosiasi sosial, komunitas atau jam’iyyah, sehingga satu individu bisa memberikan dampak yang sangat luas di komunitas sosialnya.

Mungkin hal tersebut menjadi pekerjaan rumah yang berat untuk ‘membangun kesadaran’ akan perlunya mengetahui dan mengidentifikasi akurat dan tidaknya suatu informasi sebelum memberikan edukasi kepada generasi digital immigrant untuk cerdas ber-sosial platform. Karena edukasi, kemudian tidak jarang akan diartikan sebagai menggurui orang tua, dimana pada pola relasi sosial patront client bisa dikategorikan sebagai tindakan yang kurang sopan, alih-alih ingin memberikan pemahaman bagaimana bijak memilah informasi sebelum share, tapi malah berlaku kecaman sosial dan anggapan kurang beretika pada yang tua.

Silahkan berbagi pandangan di kolom komentar, bagaimana membangun kesadaran dan edukasi bersosial platform yang menyasar generasi ‘sepuh’.[] #GNKRI

*) Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi (Kominfo) GNKRI

Source: Facebook GNKRI
0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply