Ketika Perut Kita Dikuasai Bangsa Lain

Oleh: Wahdat Kurdi/GNKRI

 

 

Tiga tahun berturut-turut, sejak 2016, Indonesia menjadi negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Di antara 20 terbesar negara pengimpor bahan tepung terigu ini, hanya Indonesia dan Filipina yang tidak memiliki kebun gandum dalam negeri. Artinya, bagi kedua negara ini, gandum jelas bukan “makanan asli” rakyatnya.

Konsumsi gandum rakyat Indonesia terus naik tak terbendung. Setiap tahun, kenaikannya mencapai 1 kg per kapita. Saat ini konsumsi gandum kita sudah mencapai 25 persen dari level konsumsi beras. Nilai impornya sekitar Rp 36 triliun pada tahun 2018 lalu. Gandum menjadi sumber karbohidrat terbanyak yang kita konsumsi setelah beras.

Rabu, 9 Oktober 1968 menjadi hari bersejarah bagi politik pangan Indonesia.  Pada hari itulah Presiden Soeharto memutuskan untuk pertama kalinya, Indonesia akan mengimpor 390.000 ton terigu dari AS. Waktu itu, kita belum memiliki industri penggilingan gandum sehingga impor harus dalam bentuk tepung terigu.

Mengapa impor terigu dari AS? Sebab AS menyediakan terigu dengan skema ‘bantuan’.  AS menjanjikan harga terigu ‘amat murah’, bahkan sebagian gratis karena merupakan hibah. Ini menjadi poin penting bagi Presiden Soeharto mengingat waktu itu Indonesia tidak punya cukup uang untuk mengimpor bahan pangan.

Mendapat terigu dengan cara seperti itu, bagi rejim Orde Baru, ibarat mendapat durian runtuh. Di masa Orde Lama Indonesia berulang kali mengalami krisis pangan, terutama beras, baik karena masalah produksi dalam negeri maupun karena persoalan daya beli. Karena itu, pasokan terigu impor dalam jumlah amat besar bisa menjadi solusi. Sebagai sesama komoditas serealia, terigu dianggap bisa menggantikan beras. Dari sisi harga, terigu juga dianggap lebih stabil.

Secara politik, keberhasilan mengatasi masalah pangan punya poin besar bukan hanya bagi pemerintahan Soeharto, tapi juga bagi AS. Bagi rejim Suharto, rakyat jelas akan menganggapnya lebih kapabel mengurus negara dibanding rejim Orde Lama. Bagi AS, tentu kukunya akan kembali tajam di hadapan Indonesia. Bantuan ini adalah pukulan telak bagi sisa loyalis Bung Karno yang beberapa tahun sebelumnya getol meneriakkan slogan “go to hell with your aid” kepada AS.

Pemerintah AS memang gemar memberikan ‘bantuan’ pangan kepada negara lain melalui program resmi bernama Food for Peace. Program ini diundangkan di masa Presiden Eisenhower, terkenal dengan sebutan PL (Public Law) 480, dan terus berlanjut hingga kini.

Meski AS menggembar-gemborkan program ini bermotif kemanusiaan, dunia tahu sepenuhnya bahwa tujuan utama AS adalah ekonomi dan politik. Pemerintah AS  bergantung kepada program ini untuk ‘membuang’ surplus produk pertanian dalam negerinya agar harga di tingkat petani tidak anjlok. Melalui program Food for Peace, pemerintah AS berperan sebagai agen pemasaran. Tugasnya sederhana, mencari pembeli produk agrikultur yang dihasilkan petani negara itu.

Dalam pidatonya ketika menandatangani PL 480, Eisonhower menyatakan UU tersebut menjadi dasar bagi ekspansi permanen ekspor produk pertanian AS. “Manfaat UU ini akan abadi bagi diri kita sendiri dan orang-orang di negara lain,” ujar Esinhower.

“PL 480,” lanjut Eisenhower, “akan menjadi solusi untuk negara-negara yang kekurangan pangan, miskin uang, dan pada saat yang sama menciptakan pasar luar negeri bagi produk AS. Dengan PL 480, negara-negara yang kekurangan pangan juga dapat membayar impor pangan dari Amerika dengan mata uang mereka sendiri, bukan dalam dolar AS. Tujuan undang-undang ini adalah untuk memperluas perdagangan internasional, meningkatkan stabilitas ekonomi pertanian Amerika, memanfaatkan secara maksimal surplus komoditas pertanian, memajukan kebijakan luar negeri, serta merangsang ekspansi perdagangan luar negeri komoditas pertanian yang diproduksi Amerika Serikat.”

Gaung Food for Peace menggema ke seluruh dunia dalam waktu singkat. Selain Indonesia, tak kurang dari 50 negara yang menerima ‘bantuan’ AS itu, kebanyakan adalah negara Dunia Ketiga. Buat politisi AS, berita ini sungguh menggembirakan. “Aku telah mendengar,” kata Senator AS Hubert Humphrey, “bahwa orang-orang tergantung kepada negara kita karena (program) pangan. Seharusnya itu bukan berita baik. Tapi bagiku itu berita baik, sebab sebelum melakukan apa pun orang harus makan. Dan jika Anda mencari cara agar orang bersandar dan bergantung kepada Anda, cara itu adalah melalui ketergantungan pangan.”

Kembali ke Indonesia. Karena mendapat terigu dari program bantuan, pada mulanya rakyat bisa membelinya dengan harga murah.  Begitu murahnya harga terigu yang dijual di dalam negeri waktu itu, hingga harganya lebih rendah sekitar 50 persen dibandingkan harga terigu internasional.

Kebijakan penjualan terigu dengan harga murah itu terbukti tak percuma. Konsumsi terigu per kapita meningkat cukup tajam dalam waktu amat singkat. Konsumsi tahun 1966 baru sebesar 0,43 kg per kapita per tahun, dan tahun 1969 telah mencapai 3,2 kg per kapita per tahun. Artinya,  konsumsi terigu meningkat hampir tujuh kali lipat hanya dalam waktu tiga tahun.

Kini, setengah abad sejak impor besar-besaran terigu dimulai, konsumsi terigu Indonesia mencapai jumlah spektakuler. Bisa jadi, Pak Harto sendiri tidak membayangkan bahwa orang Indonesia akan sebergantung ini kepada terigu.

Mungkin pula Pak Harto tidak mengetahui, bahwa di dalam terigu terkandung senyawa khas yang bernama gluten. Penguraiannya dalam tubuh akan menghasilkan polipeptida yang akan masuk ke otak dan menghasilkan opioid effect, efek kecanduan persis seperti narkotika. Orang yang mengonsumsi makanan berbahan terigu akan terus mengalami ketagihan, yang hanya bisa hilang sesaat jika mereka mengonsumsinya kembali.

Inilah yang dapat menjelaskan mengapa ketika terigu tidak lagi murah saat ini—karena  ia sudah harus dibeli dari jalur komersial—kita  tetap menjadi pecinta terigu. Bahkan terigu tetap dicari dan dibeli meski harganya sedang melambung. Bahkan terigu tetap dikonsumsi di saat kebutuhan karbohidrat kita sudah dicukupi oleh beras.

Tahun 2007, terjadi kegagalan panen gandum secara massif di Australia. Perlu diketahui, saat itu Australia sudah menjadi eksportir gandum terbesar ke Indonesia. Harga gandum melonjak lebih dua kali lipatnya. Akibatnya, seperempat industri kecil pengguna terigu di Indonesia gulung tikar karena tidak mampu bertahan dari kenaikan harga ini.

Kapok? Tentu saja tidak. Adiksi gandum membuat kita terus menuntut agar komoditas ini tersedia. Bahkan meski kita rela memangkas bea masuk gandum sampai nol persen agar harganya tetap terjangkau. Atau kita mesti membungkuk kepada bangsa lain demi memperolehnya.

Salah satu bahaya ketergantungan pangan pernah diingatkan Bung Karno. “Kalau misalnya peperangan dunia ketiga meledak,” ujar Bung Karno,  “Entah besok entah lusa, dan perhubungan antara Indonesia dan Siam dan Birma terputus karena tiada kapal pengangkutan, dari mana kita mendapat beras? Haruskan kita mati kelaparan? Buat apa kita membuang devisa bermilyun-milyun tiap-tiap tahun untuk membeli beras dari negeri lain, kalau ada kemungkinan untuk memperlipatgandakan produksi makanan sendiri? … Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak aanpakken soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami celaka!”

Tapi, sudahlah, melahap mie instan memang lebih nikmat dibandingkan memikirkan masa lalu.

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply