Lempeng Neraka: Jakarta Bubar, Raksasa Pengembang Gusar, Rakyat Murka

Oleh: Alfi Rahmadi
[Wasekjen PP GNKRI 2017-2022]

Bila terjadi di luar Jakarta, pasti cepat reda. Tapi berhubung Jakarta sentra kekuasaaan segala kelompok dan korporat, cepat sekali viralnya. Isunya mengendap lama. Inilah tragedi amukan gempa menerjang Jakarta di siang bolong, Selasa, 23 Januari 2018. Indonesia langsung heboh!

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisik (BMKG) merilis, pusat gempanya berada di Samudera Hindia di wilayah Selat Sunda, berjarak sekitar 61 km dari Kab Lebak-Banten. Semula BMKG merilis kekuatannya 6,4 skala richter (SR), lalu diralat turun menjadi 6,1 SR.

Selang beberapa jam, di media sosial malah beredar kabar akan ada gempa susulan 7,4 SR pada malam harinya. Beruntung BMKG sigap: menyatakan hoax. Entah apa motivasi penghembus informasi hitam pekat itu. Seolah segalanya terhubung dengan politik, memancing keresahan untuk berkisruh ria biar situasi ibu kota gaduh.

Mirisnya lagi di tengah situasi paniknya sejumlah masyarakat Kab Lebak menyelamatkan diri dan memeriksa kelengkapan anggota keluarga pasca kuatnya getaran tumpukan lempeng tanah mengguncang bumi, eh…malah dari Jakarta menyebar massif aneka meme tuna etika dan sensitivitas.

Itulah Jakarta. Apa yang dicemaskan para ilmuan setahun terakhir tentang fenomena gempa di ibu kota juga terkunci rapat. Pemerintah tak sigap menerjemahkannya ke dalam kebijakan publik. Fenomena alam yang mesti tersingkap seolah menjadi misteri politik dan bisnis bila kejadiannya menyeret Jakarta.

Kecemasan para ilmuan berawal dari dinamisnya sejarah gempa mengoyak Jakarta tahun 1780 dan 1834. Lalu diteruskan sepanjang abad 19 hingga masih berlangsung sampai abad millenial sekarang. Gempa besar itu berpusat dari Sesar Baribis.

Berdasarkan perhitungan sejumlah ilmuan yang dihimpun Tirto.id (20/10/2017), andai gempa 1780 dan 1834 terulang di zaman sekarang—diukur dengan peliknya situasi populasi, topografi, dan geografi Jakarta masa kini—jumlah korban nyawa yang melayang sungguh mengerikan. Dipastikan warga Jakarta, terlebih para begundal digital tukang nyinyir dan penerbar kebencian di sosial media, tak bakal sempat memproduksi provokasi konten multimedia.

Andai gempa tahun 1780 mengamuk untuk seukuran masa kini, sanggup membunuh sekitar 34 ribu jiwa penduduk Jakarta. Lebih dahsyat lagi gempa tahun 1834, ditaksir menelan korban nyawa 40 ribu jiwa seukuran zaman sekarang. Tingginya daya rusak itulah kenapa Sesar Baribis diistilahkan sebagai “lempeng neraka”.

Sesar Baribis merupakan zona lempeng tektonik aktif berada di sebelah utara Pulau Jawa. Umumnya membentang dari Cilacap di Jawa Tengah hingga menusuk ke sejumlah daerah di Jawa Barat; melewati Kuningan, Majalengka dan berhenti di Subang.

Temuan fenomena Sesar Baribis dalam gempa tahun 1780 dan tahun 1834, antara lain berdasarkan riset sejarah dan simulasi timnya Ngoc Nguyen, pakar ilmu bumi dan planologi. Ia asisten peneliti di Departemen Fisika dan Matematika di Australian National University.

Laporan penelitian ini tertuangkan di modul “Indonesia’s Historical Earthquakes Modelled Examples for Improving the National Hazard Map”, Januari 2015, dapat diunduh di situs Researchgate.net.

Masalahnya, para ilmuan Indonesia selama ini juga cenderung menganggap potensi gempa raksasa di Jakarta banyak terjadi pada lempengan aktif (Sesar Baribis). Tapi sejak 2005, saat gempa bumi dan tsunami meledak di Aceh, kemapanan anggapan itu berangsung pecah.

Menurut peneliti gempa bumi Pusat Penelitian Geo Teknologi LIPI, Eko Yulianto, potensi gempa raksasa bisa terjadi di zona subduksi (tumbukan lempeng) manapun di Indonesia. Telah menjadi pengetahuan umum para peneliti. Tak terkecuali di zona subduksi sebelah selatan dan utara Pulau Jawa.

Titik Sesar Baribis bersumber dari tumpukan Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia juga bisa melebar. Inilah yang dibuktikan ahli geodesi Australia, Achraff Koulali, beserta timnya pada 2016. Mereka menemukan proyeksi yang sangat mengejutkan.

Koulali menemukan lempengan aktif (sesar baribis) meluas melintas sampai sekitar 25 km di selatan Jakarta. Jadi tidak terhenti di Subang saja. Merujuk pada temuan tim Koulali, Sesar Baribis belakangan ditemukan terbentang dari Purwakarta, Cibatu di Bekasi, Tangerang dan Rangkasibitung.

Dari Cibatu ke Tangerang, jika simulasinya ditarik lurus, “lembeng neraka” itu juga melintas di sejumlah kecamatan di Jakarta Selatan dan Timur. Seperti Jagakarsa, Pasar Rebo, Ciracas dan Cipayung. Temuan itu tertuang dalam laporannya di Jurnal Elsevier, berjudul “The Kinematics of Crustal Deformation in Java from GPS Observations”, 18/10/2016. Dapat diunduh di situs rses.anu.edu.au.

Denny Hilman Natawidjaja, pakar geologi dari Pusat Geoteknologi LIPI, yakin riset tersebut secara saintifik valid adanya. Hanya saja, kata Denny, tinggal perinciannya. Antara lain rincian aktivitas lempeng aktif yang mesti dituangkan ke dalam peta jaringan sismik dan GPS. Petanya juga mesti dibuktikan melalui penggalian atau ground-panetring radar.

Mantan Ketua bidang Geologi Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang itu memperkirakan, potensi raksasa ledakan gempa Jakarta bisa mengulang persis gempa hebat tahun 1834, sekitar 7 SR. Bila benar meledak, Denny menyatakan Jakarta game over! Versi saya, bakal memindahkan ibu kota tanpa syarat ke daerah yang sekarang sedang dirampungkan oleh Bappenas RI.

Pertanyaan besarnya: mengapa otoritas pemerintah, antara lain melalui Lembaga Pusat Gempa Nasional, tidak mencantumkan detail titik rawan gempa di Jakarta dalam Peta Gempa Nasional yang mutakhir tahun 2017? Penelitian Koulali, diperkuat Denny Hilman, boleh saja debatable–justru untuk memastikannya penting dibuktikan melalui perincian sebagaimana di atas.

Kemauan politik yang baik sangat terasa dikalahkan oleh ketamakan bisnis para raksasa properti. Hukum ekonomi berlaku. Bila titik rawan dicantumkan, berarti status ancaman tragedi alam di Jakarta bakal naik. Sebaliknya, bisnis properti terpukul K.O. Apa sebab?

Bukan saja karena menyempitnya lapak pembangunan infrastruktur karena titik rawannya telah diketahui, tapi juga modal produksinya otomatis meroket. Mau tak mau mengikuti standar ketat bangunan tahan gempa. Para pengembang sangat gusar, karena sering dianggap boros biaya.
Uniknya, Dr. Muhammad Asrurifak, Anggota Pokja Katalog Pusat Studi Gempa Bumi Nasional tak mengelak pula. “Kalau kaku dengan ancaman gempa, ribut orang,” ungkap ahli gempa ini.

Kalau begini ceritanya, main “petak umpet” politik-ekonomi untuk urusan segenting informasi valid gempa karena taruhannya nyawa banyak orang, pasti rakyat murka. Bila otoritas pemerintah masih diam seribu bahasa, bakal meletus kemurkaan massal. #GNKRI[]

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply