Menabur Kapitalisme, Menuai Kesenjangan

Oleh: Wahdat Kurdi/GNKRI

 

Berapa angka Gini Ratio ideal yang hendak dicapai Indonesia?

Lebih tujuh dasawarsa merdeka, kita belum memiliki jawaban untuk pertanyaan sederhana di atas. Memang, setiap tahun pemerintah menargetkan angka Gini Ratio tertentu untuk diwujudkan. Angka itu biasanya lebih rendah dari tahun sebelumnya. Misal dalam RAPBN 2019, Gini Ratio ditetapkan 0,385, lebih rendah dari Gini Ratio tahun 2018 sebesar 0,389.

Apakah angka 0,389 atau 0,385, atau angka berapa pun itu, sudah menunjukkan keadilan sosial yang menjadi cita-cita negara?

Sekadar mengingatkan, Gini Ratio adalah ukuran untuk mengetahui kesenjangan ekonomi. Semakin tinggi angkanya, semakin senjang ekonomi, semakin jauh kita dari keadilan sosial.

Saat ini, negara-negara Skandinavia umumnya memiliki Gini Ratio paling rendah dibanding negara lain di dunia. Gini Ratio mereka berkisar 0,25 – 0,33. Negara-negara Skandinavia juga nyaris selalui menduduki posisi teratas dalam Indeks Kebahagiaan. Sangat mungkin kedua hal ini berkaitan. Semakin merata kekayaan di antara warga, semakin bahagia hidup mereka.

Richard Wilkinson dan Kate Pickett dalam buku “The Spirit Level”  menyimpulkan, semakin rendah kesenjangan pendapatan dan kekayaan, semakin baik kesehatan fisik, kesehatan mental, pendidikan, kesejahteraan anak, mobilitas sosial, tingkat kepercayaan dan kehidupan masyarakat. Sebaliknya, semakin lebar kesenjangan, semakin tinggi tingkat penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, obesitas, kekerasan, dan kehamilan remaja.  Wilkinson dan Pickett menggunakan data 23 negara maju dan negara-negara bagian di Amerika Serikat untuk mendapat temuannya itu.

Pada tahun 2018, Indeks Kebahagiaan Indonesia urutan ke-96 di dunia. Gini Ratio kita tahun itu 0,389. Jauh di atas Gini Ratio Inggris (0,314) dan masih di atas Amerika Serikat (0,378).

Pemerintah berusaha menurunkan Gini Ratio dengan berbagai program. Pada RAPBN 2019, pemerintah hanya berani menurunkan Gini Ratio 0,004 atau 0,4 persen dari tahun sebelumnya. Jika sikap ini dipertahankan, dan andai target itu memang bisa dicapai secara konsisten, maka butuh waktu 20 tahun untuk mencapai Gini Ratio seperti yang dimiliki Inggris. Sekali lagi, andai Gini Ratio bisa turun terus setiap tahunnya.

Faktanya, Gini Ratio Indonesia sejak tahun 1999 cenderung naik. Antara tahun 1976 – 1999,  rata-rata Gini Ratio Indonesia 0,332. Kurun waktu 1999 – 2018, rata-rata Gini Ratio 0,387. Jadi sejak era reformasi, ekonomi semakin tidak adil. Harta kekayaan semakin terkonsentrasi di tangan segelintir orang.

Mengapa bisa begitu?

Dulu, kesenjangan ekonomi diyakini para ekonom sebagai akibat dari perbedaan bakat atau keterampilan individu. Orang dengan bakat atau keterampilan berbeda akan memiliki kekayaan yang berbeda pula.

Karena itu, agar bisa mendapat kue ekonomi lebih besar, orang-orang ‘biasa’ harus terus ditingkatkan keahliannya.  Mereka harus belajar dan terus belajar agar bisa lebih kompetitif.

Anggapan ini kemudian memudar karena sulit untuk membuktikannya. Misal, di Amerika Serikat, 74 persen kekayaan dimiliki 10 persen populasi. Apakah bukti bahwa 10 persen populasi itu memiliki bakat atau keterampilan yang berbeda dengan 90 persen sisanya, sehingga mereka memiliki “nasib ekonomi” yang berbeda? Apakah 10 persen populasi itu memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, atau pernah mengikuti berbagai program kursus keahlian yang lebih hebat dibanding warga kebanyakan?

Karena anggapan tersebut sulit dicari dasarnya, kini para ekonom dunia mulai menawarkan ‘teori’ lain. Kesenjangan ekonomi, kata mereka, adalah endemik kapitalisme. Meski bukan penyebab, kapitalisme diakui memperburuk kesenjangan. Jadi, di mana pun kapitalisme diterapkan, di sana ada jurang yang semakin menganga antara si kaya dan si miskin.

Tapi jangan khawatir. Kapitalisme sendiri, menurut mereka, menyediakan obat yang mujarab untuk menyembuhkan kesenjangan itu. Misalnya melalui penerapan pajak progresif, pajak warisan, atau rupa-rupa program redistribusi kekayaan.

Kapitalisme, bagi jamaah fanatiknya, adalah dogma yang tak terbantahkan. Ia memang selalu menawarkan puncak gemerlap kemakmuran  melalui berbagai jalan yang mudah.

Berulang kali kita dibuat takjub,  kapitalisme berhasil menjadikan negara-negara di Eropa dan AS mengubah surplus sektor pertanian dan perdagangannya menjadi investasi di bidang industri dan jasa. Begitu resep yang sama kita terapkan, surplus itu menguap entah ke mana.

Pada tahun 2018, Forbes merilis kekayaan total 10 orang terkaya Indonesia yang berjumlah Rp 1.111 triliun. Angka itu setara dengan 45 persen anggaran belanja negara tahun  2019.

Tahun sebelumnya, pemerintah merilis deklarasi harta Rp 4.600 triliun dari hampir satu juta orang warga Indonesia. Artinya, kurang dari 0,5 persen penduduk Indonesia memiliki harta setara dua kali anggaran belanja negara tahunan.

Puluhan tahun lampau kita bersukacita menanam benih kapitalisme. Saat ini, semoga tidak dengan dukacita, kita mulai menuai hasilnya.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply