Polisi Menggugat dan ‘Menggugat’ Polri
“Jika semua orang berlagak sebagai polisi, maka tidak ada lagi polisi”. Kutipan ini meluncur dari Karl Marx yang disitir Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG) dalam analisisnya bertajuk “Polisi Menggugat”. Analisis ini ia rangkum dalam karya bukunya “Koloni Keadilan: Kumpulan Analisis di Majalah FORUM”. Buku ini cetakan I 2006, terbitan PT. Forum Media Utama.
Sindiran Karl Marx di atas muncul di tengah situasi semua orang seolah berbuat semaunya dan menurut batasan sekehendak hati. Marx menyadari betul betapa bahaya situasi pekat demikian. Anarkisme di tengah masyarakat tak terelakan, tak peduli proses kasus hukum tengah berjalan.
Sinisme Marx kini persis ditemukan dalam situasi mutakhir Indonesia di tengah keterpecahan politik identitas keagamaan dan golongan secara tajam. Wa bil khusus sepanjang Februari 2018 ketika meletus fenemona penganiayaan orang gila terhadap ulama.
Di tengah panasnya eskalasi Pilkada serentak 2018 dalam balutan sentimen politik identitas, anarkisme opini publik menyorot kasus tersebut bermutasi menjadi propaganda. Sangat massif tersiar di social platform.
Propaganda semakin menjalar liar mana kala muncul konten berantai di berbagai grup WhatsApp tentang orang mencurigakan di Jawa Barat. Mereka dicurigai karena mondar-mandir menanyakan nama pesantren dan masjid serta nama tokoh agama setempat.
Kejadiannya pun beruntutan tiap hari pasca peristiwa naas kematian Ustaz HR Prawoto di Kota Bandung, 1 Februari 2018. Antara lain terjadi di Cileunyi-Bandung (2 Februari); Astana Anyar- Bandung (4 Februari); Panyawungan Cileunyi-Bandung (5 Februari); di Sentul City-Bogor dan Cibereum-Tasikmalaya, 6 Februari.
Para pelakunya juga berlagak bak orang gila. Mereka diamankan warga setempat. Di Garut, 3 Februari, sempat viral kabar seorang santri dari Pondok Pesantren Al-Futuhat dianiaya oleh sejumlah pemuda. Di Bogor, sejak 10 Februari muncul video seorang tunawisma dianaiya oknum warga karena dianggap simpatisan PKI.
Propaganda yang berkembang seperti memutar ingatan pada fenomena pembunuhan ulama di Bayuwangi sepanjang 1998, dilakukan Ninja terlatih, dalam situasi menyebarnya sejumlah orang gila di berbagai kecamatan di Bayuwangi.
Ketersebaran orang gila menjadi alibi ketika sekelompok warga berhasil menangkap pembunuhnya yang berlagak pilon seperti orang gila. Peristiwa ini terjadi di tengah suhu panas reformasi 1998. Tragedi berdarah itu seakan menjadi daya ledak konflik komunal agama dan etnik di tahun berikutnya sebagaimana tragedi Ambon-Maluku dan Sambas 1999.
Dua tragedi berdarah itu juga meletus di tengah suhu panas Pemilu 1999. Isu konflik di tubuh militer dan kembalinya ABRI ke panggung politik membahana sampai ke luar negeri bersejajar dengan isu pelanggaran HAM.
Pasca peristiwa penganiayaan KH. Umar Basri pada 29 Januari 2018 di Kab Bandung, disusul penganiyaan yang dialami alm Ustaz HR. Prawoto pada 1 Februari 2018 di Kota Bandung—saya lebih menitik tekan pentingnya pembuktian forensik berlapis-lapis Polri dibanding menanggapi konten liar yang menyebar bernada provokasi.
Pentingnya pembuktian itu justru untuk menekan propaganda pecahnya konflik komunal. Rupanya, aromanya makin tercium saat kasus penyerangan di Gereja Lidwina di Bedog, Sleman, Yogyakarta meletus pada Minggu pagi, 11 Februari 2018. Kali ini pelakunya diduga teroris.
Diktum peradilan jalanan berupa liarnya opini publik semakin mendekatkan tombol konflik komunal dalam kasus intra-agama. Belum genap sehari usai tragedi gereja di Jawa Tengah, fenomena orang gila di Jawa Barat menular di Jawa Timur. Selasa dini hari, 12 Februari, kaca-kaca Masjid Baiturrahim di Tuban dirusak oleh orang yang juga diduga gila.
Lengkap sudah. Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur—tiga provinsi lumbung suara Pilpres 2019—seakan sudah diobok dalam membangkit konflik komunal dari tidurnya yang panjang. Seperti tak ingin berkembang lebih liar, maka pasca kasus perusakan masjid di Tuban-Jawa Timur itulah Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian angkat suara bersikap lebih tegas.
Polri, kata Tito, sedang mengungkap sederet kasus tersebut, sudah masuk ke tahap penyidikan. Baik kasus di Jawa Barat maupun di Sleman-Yogyakarya. Polri juga telah menindak para pelakunya. Sejauh inipun, lanjut Tito, Polri tidak melihat adanya kaitan antar kasus per kasus itu, dilansir dari Viva.co.id (12/02/2018).
Keterangan Tito tidak adanya kaitan kasus per kasus penting dicatat tebal. Sama artinya dengan mementahkan dugaan adanya operasi intelijen liar yang merawat dan meningkatkan eskalasi konflik komunal. Tapi tetap saja propaganda hitam menjalar. Mengapa?
Direktorat Cyber Crime Polri dan pemerintah gagal mengendalikan massifnya opini liar berupa konten politisasi sejumlah kasus tersebut. Maraknya konten pengantar tanpa identitas pembuatnya yang distel sesuai arah kepentingan politik golongan dan dimodif dari pemberitaan rentetan kasus sensitif itu, gagal direspon secara hukum. Setidaknya, bila tak mampu dituntaskan secara hukum, perlu disuntik dengan konter narasi atau narasi tandingan.
Sensivitas Polri selaku aparat penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) beserta ketanggapan aparat intelijennya memang belum muncul dalam menyikapi fenomena orang gila yang meresahkan itu beserta segala kasus hukum varian konflik politik identitas SARA.
Kesan tersebut menguat manakala Polri nampak menanggapnya sebagai peristiwa biasa. Bila terjadi tindak pidana varian konflik politik identitas SARA, Polri menanggapinya seolah peristiwa numpang lewat dan kasuistik. Padahal irama (tune) varian konflik tersebut konstans terawat sejak Pilpres 2014 dan eskalasinya meningkat di tengah Pilkada serentak 2018.
Dalam penyidikan terhadap dua pelaku sama-sama bernama Agus dalam kasus penganiayaan KH. Umar Basri dan alm Ustaz HR. Prawoto misalnya. Keterangan dokter spesialis kejiwaan saja tidak cukup. Perlu langkah forensik lainnya.
Semisal, pendalaman keterangan dari keluarga dan tetangga pelaku. Termasuk, sel-sel sosio-politik yang nampak seolah adanya mobilisasi secara TSM (terstruktur, sistematis dan massif) menyebarnya orang gila intimidatif simbol Islam di tengah kegilaan animo politik negeri.
Seandainya pun terbukti gila, forensik penyidikan tak cukup terhenti sampai di sini. Bila perlu dilengkapi dari ahli metafisika! Tujuannya untuk meyakinkan apakah benar ada kegilaan manuver dari oknum yang menggunakan kekuatan supranatural membisiki pelaku untuk menganiaya dua ulama yang naas itu dan telah menyebar sampai Jawa Timur.
Penting untuk menempuh langkah extra ordinary tersebut. Sebab hanya dengan forensik berlapis-lapis itulah menjadi kewarasan profesionalitas Polri di tengah situasi keterpecahan politik identitas yang kini tak waras lagi; alih-alih Polri dipersepsikan lebih tanggap merespon tragedi gereja di Sleman dibanding yang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur dalam kasus orang gila penyerang ulama dan perusak masjid.
Begitu pula dengan kasus unggahan video seorang tunawisma dianaiya oknum warga lantaran dianggap simpatisan PKI. Polri saatnya beraksi secara kongkrit untuk mematahkan provokasi bangkitnya kaum komunisme itu di kancah politik Indonesia.
Bila tidak terbukti, maka produsen konten provokasi “menghidupkan” zombie PKI itulah yang harus ditindak tegas. Dan mereka itulah yang patut dicap Komunis lantaran operasi propagandanya mirip cara-cara PKI.
Atau sebaliknya: Polri menyodorkan sederet bukti materill bahwa bahaya laten tersebut memang tengah bergerak. Yang penting: publik merasa terang-benderang alias tidak gamang dan gampang tersulut seperti sekarang. Indonesia memasuki situasi sosial yang sudah mual.
Sejauh ini, realitas yang dipahami dalam varian kualitas masyarakat Indonesia tetap yang nampak di permukaan. Meskipun peristiwa antar kasus dengan kesamaan pola dan tipe pelaku dapat dipatahkan melalui bukti materill untuk menunjukan tidak adanya rekayasa intelijen dalamnya. Atau tidak adanya keterikatan antar kasus yang ada.
Permukaan paling nampak dalam kualitas masyarakat era digital sekarang adalah narasi ‘hantu belau’ (karena tanpa identitas pengirim) bernada provokasi yang massif tersebar di sosial platform. Apa yang dicerna dari konten berantai itulah yang membentuk persepsinya. Masyarakat mengalami “shallow syndrome”, sebuah gejala kedangkalan berfikir di tengah banjir dan limbah informasi.Malas mencerna pesan, terlebih mengunyah literasi.
Persepsi instan itu menguat manakala beredar himbauan dari individu tokoh ormas dan para Jenderal purnawiran TNI/Polri agar setiap lingkungan mewaspadai gerak gerik orang mencurigakan. Himbauan ini mereka sikapi dengan meningkatkan keamanan swadaya RT dan RW. Mereka itu para opinon leader, yang mempengaruhi cara pandang, cara pikir dan cara sikap kelompoknya.
Itulah kenapa Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) Polri beserta unsur intelijen tertuntut bekerja lebih ekstra dan arif menyikapinya. Toh, lemahnya intelijen beserta link and match pranata sosial di tiap RT/RW selalu menjadi lonceng penabuh kegagalan aparat mengantisipasi aksi terorisme sebagaimana yang diduga pada tragedi gereja di Sleman.
Di tengah situasi kusut komunal seperti sekarang, Jenderal Polisi Budi Gunawan yang kini telah menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tertuntut lebih keras bersikap negarawan. Memaksimalkan sumber daya intelijen untuk kepentingan stabilitas nasional menjadi konsesus yang menyingkir kepentingan sempit golongan apapun.
Bila sikap kenegarawan ini terpecah, sinisme Karl Marx yang ia sitir sebagaimana di atas pasti selalu ‘menampar’ wajah Polri terus menerus. Tugas Polri memang berat sejalan dengan kewenangannya yang luas.
Tantangannya makin berat manakala Polri memang rentan dicap main politik lantaran wewenangnya yang terlampau luas itu; seakan Dwifungsi ABRI kini melekat di tubuh Polri. Jangankan ditemukan kesalahan, sekelas kelalaian saja sudah menjadi pembenaran masyarakat dimana polisi digugat dengan beragam bentuknya, dijadikan pesakitan, bahan ejekan.
Sebaliknya, bila kinerja digenjot lebih ekstra, nuansa batin Polri pun serasa menggugat minimnya anggaran mereka. Tapi publik masa kini seperti tak peduli lagi minimnya anggaran Polri dalam mengemban amanatnya sebagai institusi penegak hukum, penjaga Kamtibmas dan pengayom masyarakat.
Psiko-sosial ketidakpedulian itu terekam lantaran publik terbius dengan suksesnya pencitraan TNI bekerja dengan etos di tengah anggaran yang keropos. [] #GNKRIPusat
*Wasekjen PP GNKRI (Gerakan Nasionalis Kebangsaan Rakyat Indonesia)
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!