Snobisme Bahasa dan Nasionalisme Kita

Oleh: Ahmad Najib*
[*Cendikiawan]

Di Grup WhatsApp GNKRI petang menjelang malam, Minggu, 28 Januari 2018, sahabat Marbawi mengirim potongan isi Twitter akun Karni Ilyas. Isinya menarik dicermati.

“Kita memang aneh. Banyak peringatan, petunjuk, bahkan peringatan di tempat umum pakai bahasa Inggeris. Apakah semua rakyat kita sudah mampu berbahasa asing? Bahasa Indonesia saja belum. Belajarlah ke Jepang, Korea Selatan atau China yang bangga dengan bahasa ibunya.” Demikian narasi postingan Karni Ilyas di akun Twitter-nya @karniilyas.

Apa yang disampaikan Bang Karni memang baik. Tapi tetap tak luput dari sindiran pengikut akunnya. Akun @danrem misalnya, membalas “Betul Pak Karni, eh tapi kenapa harus TvOne dan bukan TvCiek atau TvSiji”? Kresna Astraatmadja dalam akun@KresnaAstra juga menimpal, “Indonesia Lawyer Club itu bahasa apa sih”?

Sesungguhnya kita tidak anti bahasa asing. Tapi anti asingisasi bahasa, dari bahasa apapun. Dalam persaudaraan misalnya. Kita sudah punya kosa kata teman, saudara, sahabat, kawan. Tapi diganti dengan akhi, Ikhwan, kamerad, friend dan sebagainya. Kosa kata sahabat memang aselinya impor dari Arab, “shohabah”, “shohibah”.

Itu akibat gelombang pedagang Arab ke Nusantara di abad lampau. Tapi oleh para pendahulu kita sudah disesuaikan dengan leksikal nusantara menjadi “sahabat”.

Pada dasarnya, mau berbahasa asing, hayo, silahkan saja. Tapi harus belajar dan berbahasa yang benar. Jangan setengah-setengah. Fasih mengganti ayah jadi abi; ibu jadi ummi, tapi giliran diajak berbahasa Arab beneran, jawabnya “Afwan ana belum bisa bahasa Arab”.

Itulah namanya SNOB. Snobisme intelektual selalu menggunakan istilah asing dari negeri barat. Snobisme agama menggunakan istilah berbahasa Arab. Khusus yang SNOB agama ini yang gawat. Gawatnya bukan hanya sekedar mengalami Snob, tapi menganggap Snob sebagai “sunnah” itu yang parah. Perilaku Snob agama ini bukan agamis, tapi Arabis alias kearab-araban.

Jika Arab aslinya sana sekarang sudah minum panadol, tapi yg kearab-araban masih minum “habbatu sauda”. Jika Arab asli sana sudah pakai viagra, tapi yang kearab-araban impor hajar jahanam. Jika Arab aslinya sana sudah pakai celana Levi’s, yang kearab-araban pake celana cingkrang. Bisa dibayang kalau budaya dianggap “nyunnah”.

Memang, ada kalimat tertentu serapan luar yang sangat sulit digantikan ke dalam serapan bahasa Indonesia, tapi hanya disesuaikan dengan leksikal Indonesia. Nama benda television contohnya, disesuaikan dengan leksikal kita menjadi “televisi”—disingkat TV. Justru akan kedengeran janggal—kalau tidak dibilang unik—bila diganti dengan istilah “jauh melihat”. Atau “kotak hidup”.

Sejauh ini yang bisa kita padankan kosa kata asing dengan pengertian yang sama dalam leksikal Indonesia sebaiknya digunakan. Terlebih lagi bila kosa kata asing itu ternyata sudah ada dalam perbendaharaan kosa kata bangsa Indonesia dan menunjukan kesamaan arti, sangat penting digunakan menggunakan versi Indonesia-nya. Misal, kosa kata dwonload jadi unduh; link jadi tautan; web jadi jejaring; page jadi laman. Mengapa sangat penting?

Lho, apa tidak sadar kita ini bangsa besar; bangsa Indonesia. Bukan bangsa Inggris, bangsa Amerika, bangsa Arab, bangsa China dan sebagainya. Jangan pernah mendadak lupa dengan lompatan besar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: berbahasa satu, bahasa Indonesia! #GNKRI

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply