Waspada, Ilmu Genomik Bisa Ancam Indonesia
Oleh: Wahdat Kurdi/GNKRI
Sebelum membaca lebih jauh, perlu disampaikan di awal bahwa tulisan ini sama sekali tidak anti-Ilmu Genomik. Ilmu Genomik—ilmu yang mempelajari genom atau penentu sifat—sangat berguna bagi manusia. Bahkan di masa depan, para ahli memperkirakan banyak hal dalam keseharian kita akan dipengaruhi oleh cabang dari ilmu Biologi ini.
Lantas, apa yang harus diwaspadai dari Ilmu Genomik? Dalam hal apa Indonesia diancam olehnya?
Sebetulnya tidak ada mudharat apa pun dari Ilmu Genomik terhadap Indonesia. Namun hal ini berubah, setidaknya dalam pandangan penulis, sejak majalah sejarah online Historia memuat hasil tes DNA terhadap Najwa Shihab dan tujuh orang terkenal lainnya.
“Siapapun yang melihat Nana pasti akan berpikir ia berasal dari keturunan Arab murni,” tulis Historia. “Secara fisik Nana memang terlihat seperti kebanyakan orang-orang dari wilayah jazirah Arab, terutama bentuk wajahnya. Namun, apakah betul demikian? Historia mencoba menjawabnya,” tambah majalah tersebut di bagian awal artikel “Pernah Diolok Onta, Gen Arab Najwa Hanya 3,4 Persen.”
Bersama Ariel Noah, Budiman Sujatmiko, Hasto Kristiyanto, Riri Riza, Mira Lesmana, Grace Natalie dan Ayu Utami, Nana—panggilan Najwa Shihab—terdaftar sebagai relawan dalam Proyek DNA Historia. Proyek untuk mengetahui asal moyang dari delapan tokoh publik itu dilakukan dengan menguji komposisi DNA di dalam tubuh mereka menggunakan sampel air liur.
“Hasilnya sangat mengejutkan,” lanjut Historia, “Karena ada sepuluh fragments (bagian/potongan) DNA yang berasal dari sepuluh moyang berbeda dalam tubuhnya. Paling banyak dan kompleks dibandingkan relawan lainnya,” tambah majalah itu. Dan darah Arab dalam tubuh Nana hanya 3,8 persen saja, jauh di bawah gen Asia Selatan yang mencapai 48 persen.
Tidak sebanyak Nana, hasil uji DNA tujuh orang lainnya umumnya hanya memiliki empat fragmen DNA. Sebagian didominasi oleh gen Asia Selatan dan sebagian lagi Asia Timur.
“Nana menyadari keberagaman suku di Indonesia merupakan sebuah nilai yang sangat besar,” pungkas Historia menutup artikel. Menurut Nana, sangat menarik bisa menggambarkan kekayaan Bhineka Tunggal Ika itu lewat tes DNA.
Tentu saja Proyek DNA Historia itu punya maksud baik: meyakinkan masyarakat bahwa keragaman adalah “takdir” Indonesia sejak dulu. Tes DNA hanya sekadar alat untuk mempertebal keyakinan itu.
Yang menjadi persoalan, dan ini belum banyak diketahui orang awam, kemampuan Ilmu Genomik tidak hanya sebatas menunjukkan keragaman leluhur.
Studi genetik baru-baru ini membuktikan bahwa genom manusia tidak hanya memengaruhi sifat-sifat sederhana seperti warna kulit, tetapi juga sifat-sifat yang lebih kompleks seperti ukuran tubuh dan kerentanan terhadap penyakit. Sebagai contoh, karena perbedaan genom-lah rata-rata orang Eropa Utara lebih tinggi daripada orang Eropa Selatan. Karena pengaruh genom yang berbeda pula penyakit multiple sclerosis lebih umum menjangkiti ras Euro-Amerika daripada Afro-Amerika.
Pertanyaannya, gen Asia Timur yang mendominasi Grace Natalie dan Ayu Utami, atau gen Asia Selatan yang dominan dalam Ariel Noah dan Budiman Sujatmiko berpengaruh kepada sifat apa? Apakah gen tersebut menimbulkan sifat unggul, misal kecerdasan, atau sebaliknya menghasilkan kekurangan, misal lebih rentan terhadap suatu penyakit?
Percayalah, Ilmu Genomik suatu saat—mungkin dalam hitungan tahun atau puluh tahun—sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Bayangkan ketika Ilmu Genomik dimanfaatkan oleh politisi busuk. Bukan untuk menyadarkan masyarakat bahwa keragaman merupakan anugerah. Justeru mengeksploitasi kelemahan yang melekat pada orang dengan genom tertentu, atau sebaliknya memvaluasi kelebihan yang melekat pada genom yang lain.
Tanpa dukungan ilmiah saja, sebagian kita mudah sekali merendahkan sebagian yang lain karena perbedaan agama, suku atau asal keturunan.
Ingat penganut zionisme sejak dulu sudah menganggap bangsa Yahudi lebih superior dibandingkan bangsa lain. Hitler berkeyakinan orang Yahudi begitu hina hingga perlu dimusnahkan. Tanpa Ilmu Genomik sedikit pun, paham-paham ekstrim nan destruktif semacam ini mudah mendapat tempat.
Bagaimana jadinya dengan bantuan perkembangan amat pesat Ilmu Genomik saat ini?
Manfaat Ilmu Genomik, di tangan orang yang tepat dengan isi kepala yang tepat, akan luar biasa bagi peradaban dan kelangsungan hidup manusia. Tapi untuk politik Indonesia, khususnya politik di era sekarang ini, penulis berkeyakinan manfaatnya jauh lebih kecil dibandingkan bahaya latennya.
Tidak perlu tes DNA untuk menyadari bahwa sejak lahir dalam diri kita sudah ada satu kromosom yang membuat perbedaan: laki-laki dan perempuan.
Yang kita perlukan adalah bagaimana meyakinkan orang bahwa berbeda jenis kelamin tidak berarti berbeda superioritas, menjadi laki-laki tidak berarti lebih utama dibandingkan menjadi wanita.
Tidak perlu mubazir waktu dan finansial sekadar untuk meyakinkan bahwa kita, bangsa Indonesia saat ini, berbeda-beda dan berasal dari leluhur yang juga berbeda-beda.
Yang perlu dicari solusinya adalah bagaimana mengobati penyakit orang Indonesia yang gampang membesar-besarkan perbedaan.
Dan solusi itu jauh dari Ilmu Genomik.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!