Yudi, Revolusi dan Restorasi Pancasila
Oleh: Sholehudin A Aziz
Membaca buku “Revolusi Pancasila” karya cendikiawan Yudi Latif ini sangat menarik dan inspiratif. Terbit di Mizan 2015 dengan tebal 208 halaman. Disebut menarik karena mampu memaparkan realitas kehidupan secara lugas dengan menggunakan bahasa yang renyah. Inspiratif karena menghadirkan kembali keseluruhan “mutiara pemikiran” terbaik para pendiri bangsa perihal Pancasila.
Yudi Latif adalah salah satu pemikir Kebangsaan Indonesia terbaik saat ini. Pantas rasanya sejak 2016 Presiden RI Joko Widodo mendaulatnya sebagai Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
Dalam “Revolusi Pancasila” karya Yudi Latif kali ini, ia secara tajam menganalisis problematika kebangsaan yang melanda negeri ini. Kalimat-kalimat penting dicetak tebal guna mempermudah ingatan pembaca akan pesan yang disampaikan. Statement dari pendiri bangsa juga dimasukkan dalam buku sebagai motivasi utama agar kita semua bersungguh-sungguh memperjuangkan cita-cita bangsa.
Indonesia, sebuah negeri yang dijuluki sebagai tanah surga, kaya sumber daya, indah-permai bagai untaian zamrud yang melilit khatulistiwa, ternyata belum mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Mimpi indah kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju perikehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan mampu juga menjelma menjadi mimpi buruk berupa ketertindasan, keterpecahan, ketimpangan dan kemiskinan.
Secara umum, pemerintah dianggap belum berhasil menunaikan kewajibannya mewujudkan cita cita kemerdekaan. Yaitu “melindungi segenap bangsam Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan kehidupan dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Kemanusiaan yang mestinya mengarah pada kederajatan, kemandirian dan persaudaraan terlumpuhkan oleh individualisme, materialisme, hedonisme, keserakahan dalam nafas hiper pragmatis kekuasaan.
Keragaman yang mestinya memberi wahana saling mengenal, menghormati, berbagi dan menguatkan persatuan, justru menimbulkan perilaku saling menyangkal, mengucilkan dan saling meniadakan. Itu semua mengarah pada kehancuran bersama.
Lebih jauh, semangat persaudaraan kebangsaan sejati juga hancur. Muncul fenomena kelam, seolah ada sebagian golongan berlomba menghianati negara dan sesamanya. Rasa saling percaya pudar karena sumpah dan keimanan juga disalahgunakan. Hukum dan institusi lumpuh; tak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan itu.
Demokrasi yang sedianya juga bertujuan sebagai sarana mengendalikan kepentingan perseorangan, kini malah menjadi sarana mewujudkan kepentingan perseorangan sekaligus perseroan untuk mengontrol institusi dan kebijakan publik. Apa penyebab segala problematika di atas?
Tak mudah menjawabnya. Ada banyak variabel yang menjadi benang kusutnya. Tetapi nampaknya hukum dalam peradaban manapun berkali-kali telah membuktikan, hancur dan tegaknya sebuah peradaban berpulang pada moral dan mental serta dikunci oleh persoalan keteladanan dalam kepemimpinan. Kanker krisis moral dan mental memang telah mengiris dan menyerang segala jaringan pembuluh darah sampai menembus jantung kehidupan.
Maka dari itu, akutnya krisis yang melanda bangsa ini mengisyaratkan perlunya “Merevolusikan Pancasila” dimana Pancasila tidak cukup sebagai alat persatuan, tetapi juga menjadi praksis ideologis yang memiliki kekuatan riil dalam merombak secara mendasar ranah material-mental-political sebagai katalis perwujudan keadilan sosial.
Sebagian kalangan intelektual, kaum cendikia dan pejabat tinggi negara memang sudah tahu pembangunan mental-karakter bangsa menjadi salah satu kunci pamungkas mengatasi problematika di atas. Dan pembangunan tersebut mempertautkan antara proses membentuk pribadi bermental dan berkarakter baik dengan kolektivitas bangsa yang bermental dan berkarakter yang baik pula.
Setidaknya penguatan mental yang dilakukan meliputi 3 hal: penguatan mentalitas budaya kemandirian; mentalitas budaya gotong royong dan mentalitas budaya pelayanan. Ketiganya bisa disebut dengan istilah “Tricita Revolusi Mental”.
Faktanya: mentalitas kemandirian bangsa Indonesia memprihatinkan. Perilaku manusianya cenderung terperangkap dalam dua pilihan ekstrem, yaitu melakukan apa yang orang (bangsa) lain lakukan atau melakukan apa yang diinginkan orang (bangsa) lain yang menyuburkan mentalitas pecundang.
Mentalitas pecundang itulah yang telah melumat pengetahuan kaum terdidik, baik dalam civil society maupun dalam biokrasi negara. Sehingga pembangunan mental-karakter bangsa tidak artikulatif, kaku, belum menjadi konsesus serius.
Mentalitas pecundang selalu berfikir bagaimana memenangi pertarungan dan merawat kekuasaan yang telah dicapai dalam alam golonganisme-nya. Sibuk mengkalkulasi untung-rugi dalam garis demarkasi yang tak lagi jelas antara isme dan golongan. Tidak lagi mampu berpijak pada intra-golongan berisme full Keindonesiaan sebagai rumah besar dalam bangsa besar sekelas Indonesia.
Bagaimana mungkin masyarakat mampu menghayati dan meniru bila mental kaum terdidik dan elit dalam struktur masyarakatnya sudah terpecah sedemikian rupa (spilit mentality/personality). Maka wajar apabila gotong-royong sebagai salah satu nilai fundamental bangsa Indonesia sejak dulu semakin mengikis tajam. Padahal, gotong royong dalam rumusan Bung Karno adalah intisari Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan dan sistem perilaku bersama.
Keterpecahan mental sedemikian rupa itu juga pada gilirannya dalam realitas kehidupan saat ini gotong royong berjalan dalam konotasi toleransi negatif, yaitu gotong-royong dalam kejahatan dan pengrusakan.
Karena itulah Revolusi Mental kekinian amat penting menempatkan gotong royong konteks toleransi negatif itu ke dalam kebaikan dan pembangunan. Penempatan demikian sama artinya dengan merestorasi warisan budaya gotong-royong, dalam arti yang lebih luas.
Dalam upaya restorasinya, gotong-royong mencakup pengembangan budaya “silih asih, silih asah, dan silih asuh”; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; tolong-menolong dengan semangat koperasi; serta saling menghargai dalam perbedaan.
Muara mentalitas di atas adalah mentalitas budaya “pelayanan” yang dapat memperkuat semangat rela berkorban, gigih meraih mutu terbaik, mendorong etos kerja, profesional dan mengembangkan sifat jujur, amanah dan bersih.
Selain itu, dalam melaksanakan revolusi tersebut di atas, taktik dan strategi yang bisa ditempuh antara lain dengan menggunakan gagasan Soekarno dengan apa yang disebut sebagai “retooling”. Artinya mengganti alat yang lama dengan alat baru.
Revolusi itu sendiri mensyaratkan beberapa eleman sebagai berikut: 1) dilakukan secara berkesinambungan; 2) dipimpin oleh orang-orang yang revolusioner; 3) didasari oleh teori-teori yang revolusioner pula dijalankan dari atas ke bawah; 4) merampungkan tahap pertama untuk ke tahap selanjutnya; 5) melakukan dekontsruksi dan mesti mengambil sikap yang tepat terhadap kawan dan lawan.
Langkah-langkah dalam Revolusi Pancasila ditempuh melalui program prioritas, antara lain melalui tujuh cara mendasar. Semuanya dimulai dengan kata aktif (me), yang mencerminkan inisiatif serta bergerak dinamis.
Pertama, mengukuhkan Pancasila sebagai ideologi negara dan pandangan hidup bangsa. Kedua, mengukuhkan negara hukum Pancasila. Ketiga, memperjuangkan dalam kedaulatan politik. Keempat, memperjuangkan kemandirian dalam perekonomian. Kelima, memperjuangkan kepribadian dalam kebudayaan. Keenam, menguatkan (dukungan) kohesi sosial. Ketujuh, menguatkan (dukungan) sistem pertahanan-keamanan melalui hankamrata (pertahanan dan keamanan rakyat semesta).
Kesimpulan dari buku ini bahwa usaha menjalankan Revolusi Pancasila di tengah kesulitan bangsa ini mensejahterakan rakyat dan gempuran materialisme, hedolisme dan banalisme memang ibarat menabrak dinding tebal yang sulit ditembus. Untuk itu, diperlukan Revolusi Pancasila untuk menjadikan Pancasila benar-benar sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa ini.
Karena itu dibutuhkan jiwa-jiwa profetis-patriotis yang berani membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa serta tidak pernah putus asa dalam menahan cobaan dan gempuran. Jangan pernah membiarkan bangsa ini hancur, tetapi senantiasa bersemangat dan bangkit bertempur dalam menegakan keadilan sosial. []#GNKRIPusat
* Ketua Bidang Kebudayaan Nasional PP GNKRI, Peneliti CSRC UIN Jakarta
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!